Liputan6.com, Tokyo - Bagi kebanyakan kaum muda, ketenaran termasuk salah satu hal yang diidam-idamkan. Profesi model dianggap jalan pintas menuju popularitas.
Seorang wanita muda Jepang bernama Saki Kozai masih berusia 24 tahun saat ia didekati oleh seorang pencari bakat di sebuah jalanan di Tokyo.
Ia dijanjikan menjadi bintang iklan. Singkat kata, Kozai ditawarkan untuk bergabung dengan sebuah agensi model.
Advertisement
Baca Juga
Faktanya, pria itu tidak bekerja untuk agensi model. Melainkan bagian dari industri film porno.
Di hari pertamanya bekerja, Kozai bahkan sudah diminta melakukan seks di hadapan kamera. Demikian seperti dilansir AFP, Kamis (6/10/2016).
"Aku tidak sanggup membuka pakaianku. Aku hanya bisa menangis," ujar perempuan yang kini berusia 30 tahun itu.
"Ada kira-kira 20 orang mengelilingiku dan menunggu. Tidak ada wanita yang bisa mengatakan 'tidak' sewaktu dikerumuni seperti itu," jelasnya.
Kozai adalah salah satu dari sekelompok wanita yang keluar dari persembunyian untuk mengatakan bahwa mereka dipaksa bekerja dalam industri porno Jepang atau Japan Adult Video (JAV). Sebuah bisnis yang bernilai miliaran dolar.
Film-film dewasa memang tersedia luas di Jepang--negeri di mana urusan pornografi bebas beredar. Tapi sisi kelam industri itu jarang diperbincangkan, terlebih hak-hak mereka yang bekerja di dalamnya.
Bertubi-tubi tuduhan yang mengatakan bahwa kaum wanita tersebut dipaksa melakukan adegan seks yang terkadang brutal, berlawanan dengan kehendak mereka.
Pelaku industri pun akhirnya mengeluarkan permohonan maaf dan menjanjikan perubahan.
Pengakuan mengejutkan itu dilakukan setelah penangkapan 3 agen pencari bakat di Tokyo yang dituduh memaksa seorang wanita untuk tampil dalam lebih dari 100 video mesum.
Sebagaimana halnya dengan Kozai, wanita yang tidak disebutkan namanya itu mengira ia akan terjun dalam dunia model. Para pengamat mengatakan bahwa pemburu wanita-wanita itu menjanjikan ketenaran dunia pentas.
Dalam beberapa kasus lain, perempuan-perempuan diiming-imingi gaya hidup mewah sebelum mereka diwajibkan main film porno untuk membayar 'utang-utang'.
Sejumlah agen pencari bakat akan 'menyandera' korban-korbannya menggunakan ancaman, intimidasi, dan kontrak-kontrak palsu.
Seorang wanita lainnya yang diwawancarai AFP mengatakan ia ditipu oleh seorang agen yang menjanjikannya menjadi penyanyi.
Ia menandatangani kontrak yang tidak jelas tentang pekerjaan yang sesungguhnya.
"Agensi itu sampai berbulan-bulan meyakinkanku. Aku tidak punya pilihan," ujar perempuan berusia 26 tahun itu.
Pada awalnya ia bertahan, tapi seperti Kozai dan yang lainnya, ia menyerah pada tekanan.
"Pada awalnya, aku bilang aku tidak sanggup melakukannya. Ketika dipaksa melakukannya, sakit sekali. Tim produksi tidak mau berhenti."
Cuci Otak
Lembaga nirlaba Lighthouse di Jepang yang giat menghentikan penyelundupan manusia, mengatakan lebih dari 60 aktris yang mencoba hengkang dari bisnis itu telah menghubungi mereka di paruh pertama 2016.
Angka ini jauh lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. "Menurut kami ini hanya puncak dari sebuah gunung es," kata Aiki Segawa, jurubicara Lighthouse.
"Banyak korban merasa bersalah dan berpikir bahwa ini semua salah mereka."
Kebanyakan wanita itu masih muda, berusia antara 18 dan 25 tahun, serta tidak tahu banyak tentang kontrak hukum.
"Mereka belum tentu disiksa atau dikurung…tapi lebih sebagai orang yang ditipu," ujar Segawa.
Kozai bahkan sampai ketagihan zat penenang untuk mengatasi kecemasannya. Ia pun terasing setelah agensinya membujuk untuk memutus kontak dengan keluarga supaya bisa fokus pada karier. "Aku tidak bisa lagi membuat keputusan rasional," kata perempuan malang itu.
Kozai akhirnya meninggalkan agensi yang menurutnya telah mencuci otaknya. Tapi ia melanjutkan melakoni film-film dewasa sebagai tenaga lepas (freelancer).
Laporan Human Rights Now yang berkedudukan di Tokyo membeberkan daftar tipu muslihat kotor yang digunakan oleh para 'pemburu' bakat.
Misalnya, korban terkadang diancam dengan denda luar biasa kalau ingin membatalkan kontrak atau mereka diberitahu tidak akan mendapatkan pekerjaan lain kalau pernah muncul dalam film dewasa.
Para 'pemburu' bakat juga menyambangi kampus-kampus atau bahkan rumah korban untuk menagih denda besar dari orangtua mereka jika korban menolak bekerja, demikian menurut lembaga itu.
Tahun lalu, Pengadilan Distrik Tokyo menolak upaya sebuah agensi untuk menagih 24 juta yen atau setara dengan Rp 3 miliar dari seorang wanita yang menolak muncul dalam film-film porno. Suatu kemenangan yang langka.
Menurut kalangan industri, Jepang menghasilkan sekitar 30.000 film dewasa setiap tahunnya. Dalam zaman internet, hampir tidak mungkin menendang pornografi dari peredaran.
Bahkan dalam sebuah laporan, seorang wanita rela menjalani sejumlah operasi plastik demi melupakan masa lalunya.
Seorang wanita lain dilaporkan sempat merencanakan untuk minta bantuan pengacara. Ia berniat menghentikan peredaran film panas yang menampilkan dirinya. Tapi, ia gantung diri sebelum proses peradilan dimulai.
Mariko Kawana, seorang mantan bintang porno yang sekarang menjadi novelis, mendirikan sebuah organisasi pada musim panas lalu guna menyerukan kontrak-kontrak yang seragam dan transparan dalam industri.
Menurut bintang yang dulunya memang memilih bekerja dalam industri itu, "Setiap perusahaan film dewasa memiliki aturan masing-masing, seharusnya diseragamkan untuk melindungi hak-hak para aktris."
Bagi Kozai, yang sedang berpikir-pikir mengajukan gugatan hukum melawan mantan agensinya, sejumlah penangkapan tersangka dan sorotan media dapat menjadi titik balik bagi perubahan. Selain itu dapat membantu wanita-wanita lain mengalami nasib serupa.
"Kalau aku bisa menjadi sebuah contoh, perempuan-perempuan lain yang menghadapi masalah yang sama mungkin bisa ditolong," imbuhnya.
Advertisement