Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Azerbaijan untuk Indonesia, Tamerlan Qarayev angkat bicara terkait konflik antara negaranya dengan Armenia. Dia mengatakan, hanya ada satu solusi untuk masalah ini.
Jalan keluar tersebut adalah menarik seluruh tentara Armenia yang ada di wilayah kedaulatan Azerbaijan. Menurutnya jika hal tersebut bisa dipenuhi maka perdamaian antar kedua negara bisa tercipta.
Baca Juga
"Jika ingin ada perdamaian mereka (Armenia) harus menarik militernya dari wilayah kami," sebut Qarayev di Hotel Sultan Jakarta, Jumat (8/4/2016).
Advertisement
Baca Juga
Dia menegaskan, tak mungkin ada damai jika tentara Armenia masih berada dan melakukan tindakan militer di wilayah Azerbaijan.
"Ini saya analogikan seperti ada orang datang ke rumah saya dan dia datang sambil menondongkan pistol ke kepala saya dan berseru mari kita bicarakan perdamaian," tuturnya.
"Tak bisa seperti itu. Kalau anda mau bicara damai, taruh pistol Anda, pergi keluar dari rumah saya, lalu pergi ke kafe atau rumah makan bersama saya tanpa pistol tersebut untuk bicara perdamaian," jelasnya.
Dubes Qarayev menyebut dengan adanya eskalasi aksi kekerasan yang dilakukan Armenia di wilayah Azerbaijan, maka negara tersebut sudah melanggar beberapa resolusi PBB.
"Armenia itu sudah mengabaikan resolusi DK PBB nomor 822, 853, 874 dan 884," tambah dia.
Sebelumnya, Dubes Armenia untuk Indonesia, Anna Aghadjanian yang ditemui Liputan6.com di kantor Kemlu menyebut konflik dengan Azerbaijan di wilayah Nagorno-Karabakh hanya bisa diselesaikan lewat jalur diplomatik dan perdamaian.
Menanggapi hal tersebut, Dubes Azerbaijan mengaku sependapat. Namun, kembali ditegaskannya, militer Armenia harus angkat kaki terlebih dahulu dari wilayahnya.
"Beliau (Dubes Armenia) berkata masalah ini harus selesai dengan damai, tentu saja saya sangat setuju. Tapi kembali saya tegaskan, kami minta mereka menarik militernya dari negara kami," kata Qarayev.
Konflik di wilayah sengketa Nagorno-Karabakh tersebut bermula usai revolusi Bolshevik di Rusia pada akhir Perang Dunia I. Saat itu Moskow membangun wilayah Nagorno-Karabakh sebagai daerah otonomi dengan mayoritas penduduknya berasal dari etnis Armenia, namun masuk dalam wilayah Republik Sosialis Soviet Azerbaijan.
Ketika rezim Soviet mulai runtuh pada 1980-an, kebanyakan warga Armenia yang beragama Kristen berjuang untuk melepaskan diri dari etnis Turkic Azeris yang mayoritas Islam. Lebih dari 30 ribu orang tewas sebelum gencatan senjata pada 1994 di wilayah ini.
Akibat konflik Armenia-Azerbaijan tersebut, Rusia dan negara-negara Barat telah meminta gencatan senjata. Sebagai pemimpin negosiasi, Presiden Vladimir Putin meminta kedua belah pihak menahan diri.
Walau sudah ada seruan menahan diri, total 36 tentara tewas dalam perseteruan dimulai pada akhir pekan lalu. Tak cuma itu, 2 negara ini terus saling menuduh siapa yang melontarkan senjata berat terlebih dahulu.