Liputan6.com, New York - Tahun 2016 menandai peringatan ke-15 serangan teroris terburuk di Amerika Serikat, yakni peristiwa 9/11Â yang menewaskan hampir 3.000 orang. Walaupun menyebabkan duka mendalam, namun banyak hal yang bisa dipelajari dari tragedi itu.
Sejak peristiwa itu hingga saat ini, para ilmuwan masih mempelajari hal-hal terkait serangan. Mereka menemukan sejumlah temuan ilmiah baru.
Beberapa fakta mengenai 9/11 yang dikaji oleh peneliti pun memperkaya sejumlah bidang keilmuan, termasuk psikologi dan forensik.
Advertisement
Dikutip dari Live Science, berikut hal ilmiah yang dipelajari dari peristiwa serangan 11 September 2001:
1. Dampak Debu Akibat Runtuhnya Gedung WTC
Menurut buku "Dust: The Inside Story of Its Role in the September 11th Aftermath", runtuhnya World Trade Center (WTC) menghasilkan lebih dari 450.000 kilogram debu yang terdiri dari gypsum, asbes, benda elektronik yang terbakar, material sintetis, rambut manusia, kertas, dan benda-benda lainnya.
15 tahun kemudian, para peneliti menemukan bahwa orang-orang di dekat lokasi runtuhnya WTC mengalami asma. Tak hanya itu, menurut Kantor Komisaris New York City Department of Health and Mental Hygiene, sekitar 42 persen mereka yang datang ke lokasi kejadian awal, secara permanen mengalami penurunan fungsi paru-paru.
Banyak polisi, petugas pemadam kebakaran, dan petugas kebersihan menderita kenaikan asam lambang, sinusitis kronis, dan kehilangan kemampuan mencium.
Saat ini para ilmuwan telah menentukan setidaknya satu penjelasan atas masalah kesehatan tersebut. Mereka mengatakan, awan debu yang sebagian besar terdiri dari beton bubuk yang memiliki PH tinggi, membakar selaput lendir saluran pernapasan.
"Itu sangat tajam dan seperti menghirup alkali bubuk atau Drano--bahan pembersih kimia," ujar dekan kesehatan global di Mount Sinai School of Medicine New York, Philip Landrigan, kepada ABC.
2. Trauma Akibat Peristiwa 9/11
Menurut sebuah studi yang dipublikasi di Journal of Traumatic Stress, serangan 11 September menimbulkan trauma bagi sebagian besar orang.
Studi tersebut mengkaji kesehatan pada 30.000 orang yang tinggal, bekerja, atau bersekolah di saat gedung kembar WTC runtuh, atau mereka yang bekerja sebagai tim penyelamat.
Lebih dari sepuluh tahun setelah serangan terjadi, 5.896 orang positif mengalami depresi atau post-traumatic stress disorder (PTSD), di mana penderitanya mengalami kecemasan parah dan pikiran tak terkendali tentang peristiwa yang memicu trauma awal.
Dari jumlah tersebut, 2.985 orang terpantau postif mengalami depresi maupun PTSD. Namun jumlah itu hanya sebagian kecil dari orang-orang yang secara langsung mengalami serangan 9/11.
Diperkirakan 319.000 terkena dampak langsung serangan 9/11. Hal itu berarti sekitar 25.000 orang bisa menderita PTSD kronis yang berpengaruh negatif terhadap kualitas hidup.
Dampak Psikologis dan Teori Konspirasi
3. Dampak Psikologis Generasi Mendatang
Menurut sebuah studi pada 2003 yang dipublikasi di jurnal JAMA mengungkap, udara beracun akibat runtuhnya WTC kemungkinan menyebabkan wanita yang saat itu sedang hamil memiliki bayi berukuran kecil.
Tak hanya itu, studi pada 2005 menunjukkan bahwa 38 wanita hamil yang menderita PTSD setelah secara pribadi mengalami 9/11, memiliki bayi dengan level kortisol yang lebih rendah. Bayi-bayi tersebut diprediksi lebih tertekan terhadap rangsangan baru dan tak biasa.
Penelitian lain menunjukkan, hal tersebut dapat meningkatkan risiko kecemasan dan depresi ketika bayi-bayi itu tumbuh dewasa.
Menurut penelitian pada 2005 yang dipublikasi dalam Journal of Endocrinology Clinical and Metabolism, rendahnya level kortisol dikaitkan dengan peningkatkan peningkatan risiko PTSD. Hal itu menunjukkan bahwa bayi-bayi itu berisiko menderita PTSD karena trauma yang ibu mereka alami.
4. Teori Konspirasi
Peristiwa 9/11 merupakan 'ladang subur' bagi pencetus teori konspirasi. Salah satu teori yang beredar menyebut, sebenarnya Pemerintah AS lah yang merancang serangan itu agar mereka bisa membenarkan perang di Afghanistan dan Irak.
Terlepas dari hal tersebut, sebuah penjelasan menyebut bahwa teori konspirasi membantu orang-orang yang mempercayai hal itu merasa dalam kontrol ketika hal buruk terjadi. Mereka ingin sebuah kendali karena tak bisa menerima hal buruk yang bisa terjadi begitu saja.
Namun pada jurnal Social Psychology and Personality Science yang dipubilkasi pada 2015 menyebut bahwa dugaan tersebut salah. Mereka menjelaskan, orang-orang yang meyakini teori konspirasi dapat menerima bahwa peristiwa mendadak dapat terjadi.
Penelitian itu menyebut bahwa aspek lebih rumit seperti kepribadian, ideologi, dan pandangan dunia dapat membentuk kepercayaan teori tersebut. Misalnya, mereka yang percaya teori konspirasi lebih mungkin memiliki kecemasan dan anomia--perasaan ketidakberdayaan dan ketidakpercayaan.
Advertisement
Teknik Forensik dan Trauma Masa Anak-Anak
5. Teknik Forensik
Peristiwa 9/11 menewaskan hampir 3.000 orang. Pada saat terjadinya serangan itu, Amerika Serikat tidak memiliki sarana untuk mengidentifikasi korban bencana dengan jumlah sebanyak itu.
Tak hanya itu, Kepala Medical Genomics and Metabolic Genetics Branch di National Institutes of Health in Bethesda, Leslie Biesecker, juga menyebut ada tantangan lain yang harus dihadapi.
Pria yang juga penulis utama laporan identifikasi korban yang dipublikasi pada 2005 menyebut, para ilmuwan tak tahu pasti berapa jumlah korban sehingga sulit mencari tahu siapa yang hilang dan perlu diidentifikasi.
Selain itu, panas hebat dari bahan bakar jet serta runtuhnya gedung berkekuatan tinggi mendegradasi DNA para korban. Menurut Biesecker, hal itu menyebabkan para ahli hanya memperoleh 'fragmen jaringan kecil' dan profil DNA yang tak lengkap.
Untuk membuat identifikasi valid, para ahli menggabung profil DNA lengkap.
"Kami juga meninjau dan memeriksa pendekatan teknis untuk menghasilkan penanda profil yang lebih baik dari jumlah yang sangat kecil dari DNA," ujar Biesecker.
"Ada banyak pelajaran, dan beberapa di antaranya kini menjadi bagian dari praktek forensik standar," imbuhnya.
6. Trauma Masa Anak-Anak
Kejadian tragis pada 11 September 2001 membantu para ilmuwan untuk lebih memahami trauma masa anak-anak, di mana mereka kehilangan orang tua atau orang yang mereka cintai dalam kejadian tak terduga.
Menurut National Child Traumatic Stress Network, anak-anak memiliki pikiran menakutkan tentang kematian orang yang mereka cintai dan cenderung menghindari pemikiran atau berbicara tentang orang yang meninggal.
Berdasarkan makalah yang dipublikasi di Harvard Review of Psychiatry pada 2004, diperkirakan lebih dari 10.000 anak kehilangan orangtua atau orang terdekat mereka akibat peristiwa 9/11.
Seorang profesor psikologi di Universitas St. John di New York, Elissa Brown, setelah peristiwa 9/11 terdapat peningkatan perhatian dan pendanaan besar yang diberikan untuk mempelajari kesedihan traumatis.
Peneliti pun mampu mengumpulkan data penting untuk memahami kesedihan traumatis dan pihak yang paling rentan mengalami kondisi itu.
"Selama bertahun-tahun, aku rasa kita tak mengerti bahwa terdapat perbedaan antara anak-anak dengan orang dewasa yang mengalami kesedihan traumatis," ujar Brown.
Saat ini para peneliti memahami bahwa anak-anak lebih mungkin mengalami kecemasan berpisah, takut ditinggalkan orang yang telah merawat mereka, dan khawatir bahwa sesuatu akan terjadi pada orang tersebut.
Para peneliti juga mampu melakukan studi untuk menemukan pengobatan terbaik bagi orang-orang yang mengalami trauma setelah peristiwa 9/11. Sebuah studi pada 2004 yang dilakukan Brown dan rekan-rekannya, menemukan bahwa jenis terapi yang disebut TF-CBT lebih efektif dibanding dengan terapi suportif.