, Berlin - Para peneliti iklim PBB mengeluhkan tindakan umat manusia yang terus mendorong Bumi ini menuju jurang kehancuran dengan membakar bahan bakar fosil dan merusak ekosistem yang rapuh. Menurut mereka, seringkali solusi yang ditawarkan hanya berfokus pada penanggulangan gejalanya, bukan pada akar permasalahannya.
"Para ilmuwan telah lama memperingatkan kita tentang kerusakan yang kita lakukan pada planet Bumi dan cara menghentikannya," ujar Direktur Institut Lingkungan dan Keamanan Manusia (UNU-EHS) Universitas PBB Shen Xiaomeng. seperti dikutip dari DW Indonesia, Minggu (12/4/2025).
Baca Juga
"Dalam banyak kasus, kita melihat jurang, kita tahu sekarang untuk berbalik, namun kita dengan percaya diri terus berjalan ke arahnya. Mengapa?"
Advertisement
Itulah pertanyaan yang dijawab oleh para peneliti dari UNU-EHS di Bonn, Jerman, dalam laporan terbaru mereka, Turning Over a New Leaf.
Masa depan yang sejahtera, menurut laporan tersebut, mungkin akan tercipta jika manusia memilih untuk mengambil "tindakan yang berarti," tindakan yang menyentuh inti permasalahan lingkungan yang saling terkait satu sama lain.
Adapun laporan tahunan ini menyelidiki bagaimana bencana-bencana besar yang kita hadapi saling terhubung dan dipengaruhi oleh perilaku manusia, serta mencari solusi yang mungkin bagi tumpukan masalah yang terus makin mencemaskan.
Sebelumnya, dalam laporan mereka tahun 2024, para peneliti UNU memperingatkan bahwa dunia sedang mendekati enam titik kritis, seperti penipisan air tanah, pencairan gletser akibat perubahan iklim, dan panas ekstrem yang tak tertahankan.
Saran Para Peneliti
Transformasi sistemik yang besar diperlukan untuk mengurangi risiko mendorong sistem iklim, pangan, dan air melampaui titik pemulihan, desak para peneliti.
Namun, "kita sangat jarang terlibat dengan akar masalahnya, tidak sering menantang atau mempertanyakan keyakinan, nilai, dan asumsi yang menghasilkan situasi tersebut sejak awal," demikian diungkap laporan soal iklim terbaru.
Sebagai contoh, meskipun daur ulang kadang-kadang bisa menjadi upaya yang berharga, hal itu tak akan menjadikan pantai atau sungai yang penuh sampah serta merta menjadi lebih bersih dalam jangka panjang. Sebab, masalah sampah berakar dalam produksi massal dan pola linier barang-barang sekali pakai.
Jika kita menginginkan masa depan yang bebas dari sampah, umat manusia harus berubah berpikir bahwa membuang sampah adalah bagian dari budaya kita, sementara sumber daya Bumi terus dikuras untuk menciptakan produk yang sering kali dibuang begitu saja setelah digunakan, demikian jelas laporan tersebut. Lebih baik berpikir, jangan sampai ada sampah! Pakai seperlunya jadi tidak perlu 'nyampah'.
Untuk menggali akar penyebab perubahan iklim, krisis keanekaragaman hayati, dan konsumsi berlebihan serta mencari jalan keluar, para peneliti UNU mengembangkan "teori perubahan mendalam" mereka.
Teori ini menyoroti struktur, keyakinan, dan nilai-nilai yang meskipun tertanam dalam masyarakat manusia, pada dasarnya merupakan konstruksi sosial.
Struktur masyarakat ini, yang tampak tak tergoyahkan, dapat menghasilkan hasil yang tak diinginkan seperti krisis iklim, kelangkaan air, dan eksploitasi sumber daya Bumi yang tak terkendali.
"Apa yang kami temukan adalah bahwa sebagian besar hal-hal tersebut terjadi dan terus terjadi karena pola pikir bahwa manusia dapat dan harus mendominasi alam atau mengendalikan alam," papar Caitlyn Eberle, yang merupakan salah satu penulis utama laporan tersebut, kepada DW.
Asumsi dasar ini, meskipun tidak selalu universal, dapat ditemukan dalam segala hal mulai dari hukum negara dan ajaran agama hingga film dan literatur, tulis peneliti di laporan tersebut. Semua itu memiliki pengaruh yang mendalam pada tujuan dan struktur masyarakat.
Advertisement
Pengabaian Keseimbangan Alam
Praktik-praktik seperti pertanian monokultur, mengubah bentuk aliran sungai, domestikasi hewan dan tumbuhan, serta penggunaan pestisida dan pembunuh gulma semuanya lahir dari pola pikir "manusia mendominasi alam," yang berfungsi sebagai jalan untuk mencapai tujuan.
Pola pikir itu, yang mengabaikan keseimbangan alam, juga membawa risiko besar dan menghalangi usaha penanggulangan krisis iklim. "Mengubah pola pikir itu berarti mengakui bahwa manusia adalah bagian dari alam, satu spesies dalam ekosistem yang luas, dan mencoba menyelaraskan sistem kita lebih baik dengan apa yang dibutuhkan alam," lanjut Eberle.
Asumsi yang sangat umum, seperti keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa akhir mendorong kemakmuran atau bahwa planet ini memiliki kapasitas tanpa batas untuk menyerap polusi dan menyediakan sumber daya, juga menghalangi tindakan penanggulangan krisis iklim.
"Dari perspektif ilmiah, asumsi-asumsi ini cacat," tandas Eberle. Jika kita berpikir bahwa sumber daya terbatas dan planet ini memiliki batas, kita mungkin akan merancang ulang struktur masyarakat.
Cara Menciptakan Perubahan
Menciptakan transformasi yang berkelanjutan dan berjangkauan luas memerlukan perubahan internal dan eksternal.
Perubahan internal maksudnya bisa berupa pergeseran nilai dan keyakinan soal perubahan iklim. Pengungkit eksternal mencakup langkah-langkah struktural besar seperti mengadaptasi undang-undang, subsidi, dan sistem perpajakan yang terkait soal iklim.
Menurut para peneliti, pergeseran nilai dan sikap "jadul" memang sulit tetapi bukan tidak mungkin berubah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sejarah.
Merokok, misalnya, dulunya jadi hal lumrah di masyarakat dan bahkan dirayakan. Di banyak budaya, menghisap rokok bahkan dikaitkan dengan status sosial yang lebih tinggi dan dianggap sehat. Coba lihat sekarang! Semua orang, bahkan bocah pun kini tahu bahwa merokok itu berbahaya dan di banyak negara, rokok dianggap sebagai kebiasaan buruk.
Transformasi rokok, dari hal yang dipandang keren atau glamour , menjadi kebiasaan yang dipandang sebagian orang sebagai hal menjijikkan, terjadi baik pada tingkat individu maupun masyarakat.
Pada pertengahan abad ke-20, para ilmuwan mulai mengungkap risiko kesehatan serius dari merokok, sementara kampanye publik yang menyoroti risiko tersebut juga mengubah "mind-set" alias pola pikir.
Nah, untuk mengatasi krisis lingkungan dan iklim yang dihadapi manusia, para peneliti UNU mengatakan perubahan pola pikir serupa diperlukan di lima hal ini:
- Pertama-tama, masyarakat harus mulai memperlakukan limbah sebagai bahan baku mentah.
- Kedua, harus menjauh dari gagasan bahwa manusia terpisah dari alam.
- Ketiga, mereka juga harus memikirkan kembali gagasan tentang tanggung jawab untuk melihat bahwa masalah iklim adalah masalah kolektif atau bersama, bukan masalah individu.
- Keempat, manusia harus mulai membayangkan masa depan itu dalam jangka waktu beberapa abad ke depan, daripada sekadar seumur hidupnya saja. Maksudnya, ingat nasib generasi mendatang, jangan hanya fokus ke kehidupan kita sekarang saja.
- Dan yang terakhir: Bisa "mendefinisikan ulang nilai dari kekayaan ekonomi menjadi kesehatan planet," simpul para penulis. Maksudnya di sini adalah kita perlu mengubah definisi "kekayaan". Biasanya, kekayaan diukur dengan uang dan sumber daya ekonomi, tetapi yang lebih penting adalah kesehatan planet ini. Jadi, keberlanjutan alam dan kesejahteraan lingkungan harus menjadi indikator utama ata apa yang dimaksud dengan kekayaan atau kesejahteraan.
Jadi, masalah yang sebenarnya bukan soal teknologi canggih untuk mengendalikan masalah iklim atau cara mengatur sesuatu, tapi lebih pada cara kita berpikir! Agar bisa mencapai tujuan itu, kita perlu mengubah cara pandang kita, dan bukan hanya fokus pada hal-hal yang bersifat teknis. "Pergeseran pola pikir yang lebih mendalamlah yang diperlukan untuk mengubah budaya, mengubah filosofi untuk meyakini bahwa hal-hal semacam ini dapat tercapai," pungkas Eberle.
Advertisement
