10 Faktor Pemicu Donald Trump Menang dan Hillary Clinton 'Keok'

Kemenangan Trump dikaitkan dengan 10 faktor berikut. Apa saja?

oleh Khairisa Ferida diperbarui 10 Nov 2016, 20:17 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2016, 20:17 WIB
20161109-Pidato Kemenangan Donald Trump-New York
Presiden ke-45 AS, Donald Trump mengepalkan tangan saat berpidato di hadapan para pendukungnya di Manhattan, New York, Rabu (9/11). Trump berhasil mendapat suara electoral votest lebih dari 270, sebagai syarat kemenangan Pilpres AS (REUTERS/Carlo Allegri)

Liputan6.com, Washington, DC - Kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden Amerika Serikat (AS) 2016 sangat mengejutkan dunia. Karena selama berbulan-bulan berlangsungnya masa kampanye nyaris seluruh lembaga survei menunjukkan, Hillary akan memimpin perolehan suara dan melenggang ke Gedung Putih.

Banyak yang bertanya-tanya apa yang menjadi faktor kemenangan Trump sehingga sosoknya mampu meraup dukungan rakyat AS. Padahal ia belum teruji, baik sebagai politisi mau pun birokrat.

Sementara fakta berbeda dimiliki Hillary. Ia politisi kawakan yang pernah 'mengecap' kursi pengacara, ibu negara, senat, menteri luar negeri, sebelum akhirnya diberi mandat oleh Partai Demokrat untuk maju sebagai calon presiden.

Bicara soal skandal, keduanya sama-sama memiliki catatan tersendiri. Trump dihantam isu pelecehan seksual tak hanya oleh satu, namun sejumlah perempuan. Ia pun diduga menghindari pembayaran pajak selama bertahun-tahun.

Presiden ke-45 AS, Donald Trump dan Wapres, Mike Pence langsung menyampaikan pidato setelah mengetahui hasil penghitungan suara Pilpres AS, di Manhattan, New York, Rabu (9/11). Trump unggul cukup jauh atas pesaingnya, Hillary Clinton. (REUTERS/Mike Segar)

Hillary juga diterpa skandal email. Ia kedapatan menggunakan server email pribadi ketika menjabat sebagai menteri luar negeri. Kasus ini antiklimaks, namun memicu anggapan bahwa sosoknya 'kebal' hukum.

Lantas, apa saja yang menyebabkan Trump berhasil memenangkan pemilu dan menjadi presiden terpilih AS ke-45? Berikut 10 faktor pemicu kemenangan Trump seperti Liputan6.com kutip dari Listverse.com, Kamis, (10/11/2016):

Mengecoh Media

1. Trump Cerdas Memanfaatkan Media

Pada Agustus 2015, Listverse pernah menulis sebuah artikel berjudul "10 Reasons Donald Trump May Be A Political Genius". Secara akurat, tulisan tersebut memuat prediksi kemenangan Trump, namun kebanyakan orang mementahkan laporan tersebut.

Dari sekian banyak alasan tulisan itu dimuat, salah satu yang paling menonjol adalah kelihaian Trump memanfaatkan media. Hal tersebut tak mengejutkan mengingat ia memiliki latar belakang yang panjang dalam dunia pertelevisian dan hiburan.

Ia tahu persis harus menyampaikan apa untuk membuat penonton jengkel. Dan secara naluriah ia juga tahu bagaimana cara menarik perhatian mereka. Setiap kali lawannya mulai mendominasi pemberitaan, ia akan melemparkan granat retoris, membuat kamera kembali mengarah kepada dirinya.

Trump memahami dengan baik sebuah pepatah lama, "bahwa tak ada publisitas yang buruk". Dia tahu bahkan ketika para pengamat muncul di TV mengecam kebijakannya, namun para penonton akan setia mendengarkan retorika-retorikanya.

Memang faktanya, saat ini kebanyakan orang lebih mudah mengingat bahkan menjelaskan kebijakan Trump dibanding Hillary. Nyaris semua media menginginkan Trump 'jatuh', namun tanpa mereka sadari mereka telah membentuk Trump menjadi orang paling berkuasa di muka bumi.

Kejutan FBI

2. Kejutan dari FBI

Berbagai jajak pendapat memenangkan Hillary dalam beberapa bulan terakhir. Bahkan pada pertengahan Oktober ia memimpin 12 poin di atas Trump. Jika pilpres dilangsung pada saat itu juga bukan tidak mungkin Hillary yang akan dinobatkan menjadi presiden ke45 AS.

Namun kondisi berubah seketika setelah Direktur FBI, James Comey mengirimkan surat kepada Kongres pada 28 Oktober. Ia mengatakan akan membuka kembali investigasi terkait skandal email Hillary yang sebelum sempat ditutup. Dan mendadak 'bom' meledak.

Dukungan terhadap Hillary menurun. Meski belakangan Comey menegaskan, pihaknya 'membersihkan' nama Hillary dari skandal email tersebut, namun hal tersebut tak banyak membantu. Ketika pemungutan suara dimulai bahkan namanya lekat dengan satu kata, kriminal.

Survei

3. Terlena Hasil Survei

Sejak pertengahan Juli 2016, hampir seluruh survei 'memenangkan' kubu Hillary. Bahkan ada prediksi Demokrat akan merebut kembali dominasi di DPR dan Senat. Hal ini disebut-sebut membuat Demokrat berada di atas angin.

Hillary bahkan dikabarkan melewatkan kampanyenya di negara-negara 'Blue State'--negara pendukung Demokrat. Dia tak menghabiskan banyak waktu untuk berjuang di negara-negara kunci dan swing state serta menganggap semua wilayah itu sudah 'dikantonginya'.

'Change'

4. Haus Perubahan

Sejak akhir Perang Dunia II, hanya ada satu contoh di mana satu partai berhasil menguasai Gedung Putih selama tiga periode. Peristiwa tersebut terjadi ketika Presiden Ronald Reagan yang seorang Republikan dan menjabat selama dua periode digantikan oleh George H.W. Bush.

Ini menjelaskan kondisi Hillary yang cukup sulit mengingat Demokrat melalui Barack Obama sudah menghuni Gedung Putih selama 8 tahun terakhir. Pemilih saat ini menginginkan dengan perubahan.

Pemerintahan Obama memang mencatat sejumlah kemajuan signifikan, salah satunya pengangguran yang di bawah lima persen. Namun hal-hal baik bisa jadi memburuk.

Simak saja bagaimana krisis perekonomian melanda AS pada 2008, memicu perasaan muak kepada pemerintah dan kalangan elite.

Obama dinilai gagal membawa harapan dan perubahan yang menjadi slogannya pada musim kampanye.

The Zeitgeist

5. Gelombang The Zeitgeist

Menariknya, sinyal pertama kemenangan Trump datang dari Inggris. Tepatnya pada 23 Juni, ketika publik di Britania Raya melaksanakan referendum dan hasil akhirnya memutuskan negara itu bercerai dari Uni Eropa (UE).

"Brexit" atau British Exit secara jelas menunjukkan keunggulan kampanye Trump, yakni kemarahan kepada elite, kekhawatiran atas isu imigrasi, dan penegasan identitas warga kulit putih.

Namun bukan peristiwa "Brexit" yang mendatangkan kemenangan tak terduga Trump, melainkan sebuah gerakan yang saat ini tengah 'mengguncang' sejumlah negara, The Zeitgeist, yakni sebuah gerakan yang mengkritik kapitalisme pasar.

2016 telah menjadi tahun bagi kelompok The Zeitgeist. Di Jerman, Partai Alternative for Germany yang dikenal dengan kebijakan anti-migrannya dilaporkan menang pemilu.

Sementara di Filipina, Rodrigo Duterte yang melegalkan aksi main hakim sendiri kini menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di negara tersebut. Partai populis-kiri di Islandia, Pirate berhasil meraih dukungan 25 persen dalam pemilu.

Di Inggris, pemimpin oposisi adalah seorang pria yang menentang partainya sendiri. Dan pada tahun depan, Partai National Front Prancis diprediksikan akan memenangkan pemilu sementara itu di Jerman, sosok seperti Angela Merkel diramalkan akan 'jatuh'. Trump dinilai hanya contoh kasus terbaru dari kemenangan gerakan ini.

Warga Kulit Putih

6. Kemarahan Warga Kulit Putih

Trump menang setelah berhasil mengamankan suara warga kulit putih dalam setiap demografis kecuali perempuan berpendidikan tinggi. Ia berhasil mendapatkan dukungan tersebut dengan memanfaatkan kecemasan mereka.

Hari-hari di mana Amerika dikenal sebagai negara kulit putih dinilai telah berakhir. Pada sekitar tahun 2040, Amerika diprediksikan akan menjadi negara mayoritas-minoritas.

Kabar ini menyebar di saat yang tepat, yakni ketika Negeri Paman Sam tengah dipimpin oleh seorang presiden kulit hitam. Media secara konsisten menggambarkan warga kulit putih sebagai kalangan elite yang istimewa.

Dan Trump dinilai menjadi satu-satunya sosok yang 'menyimak' kekhawatiran ini.

Isu Terorisme

7. Menangkap Kekhawatiran Masyarakat

Menurut Gallup, isu terorisme adalah alasan utama di balik kemenangan Trump. Ini bukan soal ekonomi dan imigrasi.

Dan terorisme di sini diartikan sebagai terorisme terkait Islam. Dan ketika Trump melemparkan wacana larangan masuk bagi warga muslim, itu seolah menjadi solusi bagi rakyat AS.

Sama halnya ketika ia bicara soal ISIS, China, kejahatan dan imigrasi. Dalam setiap kasus, Trump menawarkan kebijakan sederhana, namun 'merespons' secara nyata kekhawatiran masyarakat.

Kebencian pada Kaum Elite

8. Marah Kepada Golongan Elite

Rakyat AS marah. Mereka marah kepada kalangan elite yang dinilai telah memicu krisis sementara golongan itu tak terkena dampak. Mereka marah kepada Kongres yang tidak bisa meloloskan UU yang dapat menyejahterakan warga.

Mereka marah pada media yang menggambarkan mereka sebagai orang udik, kelas pekerja, dan rasisme. Namun kebanyakan dari mereka marah dengan sedikitnya kesempatan atas lapangan kerja yang tersedia.

Partai Demokrat Gagal

9. Hillary Bukan Tandingan Trump

Hillary adalah kandidat Demokrat terlemah yang pernah dinominasikan sebagai presiden. Dia memiliki beban historis dari sang suami, Bill Clinton, skandal email, skandal penyerangan konsulat AS di Benghazi, skandal korupsi, serta popularitas yang rendah.

Mantan ibu negara itu dianggap merupakan klan Clinton lain yang akan menjalankan pemerintahan tak jauh berbeda dengan era sang suami. Ini semakin memperburuk situasi mengingat rakyat AS merasa sudah cukup melalui delapan tahun kepemimpinan Bush di mana mereka menyebutnya ide mengerikan.

Seharusnya jika Demokrat ingin mengajukan calon maka Joe Biden dinilai merupakan sosok yang tepat. Namun jika mereka ingin 'orang luar' maka Bernie Sanders adalah jawabannya.

Partai Republik Tak Solid

10. Kegagalan Partai Republik

Pada Januari 2016, kandidat capres Partai Republik lain, Ted Cruz memenangkan dukungan di Iowa. Sebagai seorang konservatif seutuhnya dan sangat populer di kalangan evangelis sebenarnya Cruz memiliki momentum untuk menyingkirkan Trump.

Namun yang menjadi masalahnya, elite Partai Republik tidak solid menunjukkan dukungan terhadap Cruz.

Mereka justru terpecah mendukung dua kandidat lain, yakni Marco Rubio dan John Kasich sehingga hal ini menyebabkan suara anti-Trump 'membelah'.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya