Liputan6.com, Canberra - Hubungan diplomatik antara dua sekutu, Amerika Serikat-Australia terancam mengalami keretakan. Pasalnya, pembicaraan Presiden Donald Trump dengan Perdana Menteri Malcolm Turnbull melalui sambungan telepon dikabarkan tidak berlangsung lancar.
Keduanya saling melontarkan kata-kata kasar ketika membahas kebijakan pengungsi. Tidak hanya itu, Trump bahkan dikabarkan menutup telepon dengan tiba-tiba.
Baca Juga
Pembicaraan Trump dengan Turnbull terjadi pada Sabtu 28 Januari lalu. Saat itu dua pemimpin dunia tersebut terlibat perdebatan, setelah Turnbull menekan Trump untuk menghormati kesepakatan menerima 1.250 pengungsi dari pusat penahanan Australia. Demikian seperti dilansir The New York Times, Kamis, (2/2/2017).
Advertisement
Sementara itu, seperti biasanya, Trump membawa isu ini ke ranah media sosial Twitter.
"Bisakah Anda percaya? Pemerintahan Obama setuju untuk membawa ribuan imigran ilegal dari Australia. Kenapa? Saya akan pelajari kesepakatan bodoh ini!," cuit Trump.
Seorang pejabat senior pemerintahan Trump membocorkan isi percakapan antar dua kepala negara tersebut. Menurutnya, Trump sempat mengatakan bahwa para pengungsi Australia itu boleh jadi merupakan cikal bakal pengebom Boston berikutnya.
Pejabat senior AS itu juga mengklaim, Trump sempat mengatakan, secara politik ia akan terbunuh akibat kesepakatan tersebut. Sumber yang sama pula menjelaskan bahwa sambungan telepon Trump dengan Turnbull berlangsung jauh lebih singkat dari yang direncanakan, dan berakhir dengan tiba-tiba setelah PM Australia itu mendesak Trump untuk menerima para pengungsi.
Dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Victoria, PM Turnbull menolak berkomentar terkait perbincangannya dengan Trump.
"Saya telah melihat laporan (Washington Post memuat isi percakapan keduanya) dan saya tidak akan mengomentari percakapan itu, selain mengatakan seperti halnya yang Anda ketahui dan sudah dikonfirmasi oleh juru bicara Gedung Putih, bahwa Presiden Trump telah meyakinkan saya soal ia akan melanjutkan dan menghormati kesepakatan dengan pemerintahan Obama," ujar Turnbull.
Ketika disinggung apakah Trump mengakhiri panggilan telepon tersebut dengan tiba-tiba, Turnbull juga enggan menjawab.
"Akan lebih baik, jika percakapan ini dilakukan secara jujur, terbuka, dan empat mata," kata PM Australia itu.
Pada kesempatan yang sama, Turnbull menegaskan bahwa hubungan Australia-AS akan tetap kuat. Namun jika kesepakatan terkait pengungsi ini gagal maka Negeri Kanguru akan dihadapkan pada masalah politik domestik yang cukup sulit.
Pemerintah Australia memiliki kebijakan, melarang setiap pengungsi yang tiba dengan perahu menginjakkan kaki di negara itu. Sebagian besar dari para pengungsi ini ditahan di Pulau Nauru dan Manus. Rata-rata mereka berasal dari Iran dan Irak.
Kedua negara tersebut termasuk ke dalam tujuh negara yang terkena kebijakan anti-imigran Trump. Pada era Obama, AS setuju untuk memukimkan kembali sejumlah pengungsi di Negeri Paman Sam setelah mereka melalui proses seleksi yang sangat ketat.
"Saya dapat meyakinkan Anda bahwa hubungan (Australia-AS) sangat kuat. Faktanya, kami menerima jaminan dan faktanya pula itu telah dikonfirmasi, keterlibatan yang sangat luas yang kami miliki dengan pemerintahan baru menggarisbawahi kedekatan aliansi," terang Turnbull.
"Tapi sebagaimana yang dipahami warga Australia--saya berjuang untuk Australia dalam setiap forum --publik atau swasta," pungkasnya.
Pemimpin Partai Buruh Australia, Bill Shorten ikut menanggapi pembicaraan Trump dan Turnbull. Menurutnya terdapat dua versi dari peristiwa tersebut.
"Tuan Turnbull menegaskan ia memiliki diskusi yang konstruktif atas kesepakatan pengungsi. Namun sekarang muncul versi berbeda," ungkap Shorten.
Shorten juga mengkritik PM Turnbull yang dinilainya menjaga keterbukaan informasi di kalangan warga Australia. Rincian dari kebijakan luar negeri Australia dan perjanjian dengan AS terkait pengungsi bahkan lebih dulu dimuat oleh media asing.