Kontroversi Donald Trump, Propaganda ISIS, dan Ramalan Al Qaeda

Kebijakan Donald Trump jadi mimpi buruk bagi warga tujuh negara. Namun, ISIS dan Al Qaeda bersorak karenanya. Mengapa?

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 02 Feb 2017, 08:15 WIB
Diterbitkan 02 Feb 2017, 08:15 WIB
Donald Trump menelepon Raja Arab Saudi, King Salman. (AP)
Donald Trump menelepon Raja Arab Saudi, King Salman. (AP)

Liputan6.com, Washington, DC - Perintah eksekutif Donald Trump bagaikan mimpi buruk bagi warga tujuh negara yang 'terlarang' masuk AS: Iran, Irak, Suriah, Sudan, Libya, Yaman, dan Somalia. Namun, bagi organisasi teroris seperti ISIS, itu adalah kabar baik.

Mantan anggota kelompok ekstremis, Abu Abdullah -- nama samaran -- mengatakan, pernyataan Donald Trump akan digunakan sebagai alat perekrutan ISIS. Dijadikan bahan propaganda.

"Bisa dimainkan dalam propaganda mereka, untuk mengatakan bahwa sedang terjadi perang terhadap Islam dan semua Muslim," kata Abu Abdullah kepada CNN, Rabu (1/2/2017).

Mantan militan lain mengatakan, ketegangan antara Muslim yang tinggal di Barat dengan pemerintahnya adalah kondisi yang diinginkan ISIS.

"Trump dianggap banyak membantu ISIS. Ia pada dasarnya adalah 'alat' bagi mereka (ISIS)," kata Abu Obaida, warga Inggris mantan anggota Jabhat al-Nusra di Suriah.

Militan ISIS (Reuters)

Kebijakan Trump yang kontroversial dan memicu protes, kata Obaida, juga 'membangkitkan' kembali pernyataan salah satu Bos Al Qaeda, Anwar al-Awlaki.

Anwar al-Awlaki adalah eks juru bicara terakhir Al Qaeda di Semenanjung Arab. Pria yang mendapat gelar doktor dari George Washington University itu tewas akibat serangan drone pada 30 September 2011.

Konon, ia menyampaikan sebuah 'ramalan'. "Di media sosial kini ada banyak orang yang mengutip Anwar al-Awlaki dan pidato terakhirnya, saat ia mengatakan bahwa Amerika akan melawan Muslim," kata dia.

Ledakan WTC di Amerika Serikat pada Selasa, 11 September 2001. Dikenal juga sebagai tragedi 9/11. (Reuters)

Dalam percakapan di media sosial -- termasuk di aplikasi Telegram yang dienkripsi -- para militan memperbicangkan soal perintah eksekutif Trump yang dianggap mengungkap "kebencian AS terhadap Muslim," demikian menurut lembaga monitoring SITE.

Charlie Winter dari International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence di King's College, London mengaku belum melihat perintah eksekutif Trump di rilis resmi kelompok militan.

Namun, Winter yang telah mempelajari kampanye ISIS selama bertahun-tahun mengatakan, apa yang diputuskan Donald Trump jauh lebih kuat dari video atau materi propaganda lain yang dimiliki kelompok ekstremis. 

Sebelumnya, Trump telah tampil sekilas setidaknya dalam dua video propaganda yang dirilis ISIS. Presiden ke-45 Amerika Serikat itu juga muncul dalam rekaman yang disebarkan kelompok teroris Somalia al-Shabaab.

Selain Donald Trump, Presiden Obama juga pernah muncul dalam video serupa.

 

Keuntungan untuk ISIS dan Al Qaeda

Tak hanya ISIS yang akan memanfaatkan perintah eksekutif Donald Trump, tapi juga Al Qaeda -- yang pernah mengagetkan dunia dengan serangan teror 9/11, namun meredup usai Osama bin Laden tewas. 

"Dengan melarang Muslim, menyebut 'Islam radikal', Donald Trump memberikan amunisi dan motivasi untuk Al Qaeda dan ISIS," kata Fawaz Gerges, pimpinan studi Timur Tengah di London School of Economics sekaligus penulis buku "ISIS: A History."

Gerges mengatakan, menyamakan kelompok ekstremis dengan lebih dari 1 miliar penduduk muslim dunia adalah 'kebodohan yang kontraproduktif' dalam pertempuran melawan ISIS.

Sebelumnya, Donald Trump keputusannya bukanlah larangan terhadap muslim. "Ini bukan tentang agama, melainkan tentang teror dan menjaga keamanan negara kita," kata dia. 

Namun, menurut Gerges, Trump terlanjur memberikan inspirasi ideologis untuk ISIS, sekaligus berkontribusi memperdalam sentimen anti-Amerika di seluruh dunia Muslim.

"Kebijakan tersebut dapat dengan mudah ditafsirkan, dan sedang ditafsirkan, sebagai larangan terhadap umat Islam," kata Gerges. "Jika Anda serius ingin mengalahkan ISIS, jangan sampai menggambarkannya sebagai pertarungan Islam versus Barat."

Pada tahun-tahun sejak teror 9/11, George W Bush dan Barack Obama melakukan langkah hati-hati, jangan sampai mencampuradukkan 'perang melawan teror' dengan 'berperang dengan Islam'.

Rose Hamid terlihat berdiri di acara kampanye Doland Trump di Rock Hill, South Carolina, (8/1). | via: Jeremy Diamond/Twitter

Namun, sejak masa kampanye, tim Trump sudah terang-terangan mengatakan akan memerangi "teroris Islam radikal" sebagai janji. Tak hanya itu, sang miliarder nyentrik juga pernah menyampaikan niat untuk mendaftar semua muslim yang ada di AS untuk memudahkan pemantauan. 

Clint Watts, mantan agen khusus kontraterorisme FBI, yang juga pernah bergabung dalam pasukan infanteri US Army mengatakan, akibat dari retorika Trump, pemerintah AS akan mengalami kesulitan dalam menjalin kemitraan dengan negara-negara muslim di wilayah pertempuran melawan ISIS. 

Tak berhenti sampai di situ. "Memindahkan kedutaan besar untuk Israel ke Yerusalem, mengembalikan penyiksaan dalam interogasi (waterboarding), semua itu menjadi kombinasi yang memperkuat retorika tersebut," kata Watts.

Di sisi lain, Donald Trump memasuki Gedung Putih ketika ancaman ISIS sudah berkurang, demikian menurut survei IHS Conflict Monitor.

Kelompok teroris itu telah kehilangan hampir seperempat dari wilayahnya di Irak dan Suriah hanya sepanjang tahun lalu.

Keuangannya juga terpukul, ISIS nyaris bangkrut. Tak hanya itu, sekitar 180 pemimpin seniornya tewas dalam serangan udara. 

Pasukan Irak yang disokong koalisi internasional sedang berupaya merebut kembali Mosul dari ISIS.

AS menerjunkan helikopter serbu Apache dalam perang merebut kembali Kota Mosul di Irak dari cengkeraman teroris ISIS.

Senator Partai Republik, John McCain mengecam perintah eksekutif Trump dalam sebuah wawancara dengan CBS Minggu lalu.

Ia mengkhawatirkan penerimaan pihak Irak atas larangan Trump -- yang berpotensi melemahkan upaya perebutan Mosul. 

McCain juga menambahkan, perintah eksekutif Trump justru akan memberikan amunisi bagi propaganda ISIS.

"Bahkan jika ISIS kehilangan Mosul dan Raqqa, ideologinya akan terus hidup karena pernyataan seperti itu, kebijakan seperti itu."

Namun, ada juga sisi positif kebijakan kontroversial Trump: menyatukan antarumat beragama untuk melawan kebencian dan prasangka. Ini di antaranya:

Foto yang memperlihatkan bocah muslim dan yahudi di sebuah unjuk rasa menentang kebijakan Trump membuat netizen terenyuh. (Chicago Tribune/Nuccio DiNuzzo)

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya