China Bangun Hanggar dan Radar di Laut China Selatan, Untuk Apa?

Puluhan hanggar dan radar berkemampuan tinggi terlihat di pulau buatan Tiongkok di Laut China Selatan yang wilayahnya disengketakan.

oleh Elin Yunita KristantiCitra Dewi diperbarui 29 Mar 2017, 11:13 WIB
Diterbitkan 29 Mar 2017, 11:13 WIB
Sejumlah hanggar dan radar di Fiery Cross, Laut China Selatan
Sejumlah hanggar dan radar di pulau milik Tiongkok, Fiery Cross, Laut China Selatan (Asia Maritime Transparency Initiative)

Liputan6.com, Beijing - Puluhan hanggar pesawat dan radar berkemampuan tinggi terlihat di pulau buatan milik Tiongkok di Laut China Selatan. Fasilitas yang diperkirakan akan segera beroperasi itu terlihat melaui citra satelit yang dirilis oleh wadah pemikir atau think tank asal Amerika Serikat, Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI).

Gambar yang diambil pada awal Maret tersebut, memperlihatkan infrastruktur pertahanan yang hampir jadi di tiga pulau buatan China di gugus Spratly yang disengketakan, yakni Fiery Cross, Mischief dan Subi.

Setiap pulau tersebut memiliki hanggar baru yang dapat menampung 24 pesawat militer. Sejumlah hanggar berukuran lebih besar yang dapat menampung pesawat bomber dan mata-mata juga terlihat dalam citra satelit.

Meski penyelesaian fasilitas tersebut pada awal 2017 telah diperkirakan, namun hingga kini belum diketahui apa yang akan dilakukan Tiongkok dengan infrastruktur di Laut China Selatan tersebut.

Lokasi Pulau Fiery Cross, Mischief dan Subi di Laut China Selatan (CNN)

"Anda tak mungkin membangun fasilitas semacam itu dan tak menggunakannya," ujar Ian Storey dari Institute of Southeast Asian Studies Yusof Ishak Institute, seperti dikutip dari CNN (29/3/2017).

Menurut penuturan ahli, fasilitas baru tersebut membuat China terus membangun dominasi militernya di wilayah yang sedang mengalami sengketa.

Hal itu juga dapat membantu Tiongkok untuk membangun Air Defense Identification Zone yang kontroversial di area tersebut.

Juru bicara Kementerian Hubungan Luar Negeri Hua Chunying mengatakan, ia tak mengetahui rincian laporan tersebut. Namun ia mengegaskan bahwa Kepulauan Spartly di Laut China Selatan merupakan wilayah milik Tiongkok.

"Apakah kita memutuskan untuk mengerahkan atau tak mengerahkan peralatan militer yang relevan, (fasilitas) itu berada di kawasan kedaulatan kami. Ini adalah hak kami untuk membela dan mempertahankan diri seperti yang diakui hukum internasional," ujar Hua Chunying.

Pembangunan Hanggar dan Radar Hampir Selesai

Fiery Cross, Mischief dan Subi merupakan tujuh pulau buatan yang dibangun China di gugusan Spratly. Negara itu mengklaim bahwa sebagian besar Laut China Selatan masuk ke dalam wilayahnya, meski terdapat klaim tumpang tindih oleh sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Filipina dan Vietnam.

Menurut AMTI, empat hanggar yang lebih besar telah selesai dibangun di Subi dan empat lainnya di Fiery Cross. Sementara itu sejumlah hanggar lain di Mischief yang dapat menampung lima pesawat yang lebih besar, seperti bomber, pembangunannya berada di tahap akhir.

"Tiga pangkalan militer China di Spratly dan di Pulau Woody di Paracels, membuat pesawat militer China dapat beroperasi di hampir seluruh Laut China Selatan," ujar AMTI dalam sebuah pernyataan.

Foto satelit di Fiery Cross, Laut China Selatan. (Asia Maritime Transparency Initiative)

Selain hanggar, pembangunan kubah radar di setiap pulau juga terlihat pada citra satelit. Menurut AMTI, Fiery Cross, Subi, dan Mischief saat ini juga memiliki penampungan peluncur rudal yang didesain dapat bergerak.

Meski infrastruktur tersebut hampur selesai, namun belum ada pesawat militer yang telah dikerahkan di pulau tersebut.

Menurut analis kemaanan regional dan profesor emeritus di University of New South Wales, Carl Thayer, China akan mengerahkan pesawatnya berangsur-angsur untuk mengukur respons negara sekitar area laut yang disengketakan, juga AS.

Foto satelit di Subi, Laut China Selatan (Asia Maritime Transparency Initiative)

Ketegangan di Laut China Selatan secara umum telah menyusut dalam sembilan bulan terakhir. Menurut Storey, hal itu terjadi sejak Presiden Rodrigo Duterte menjabat sebagai presiden dan membangun hubungan yang lebih dekat dengan China.

"Jika China mengerahkan pesawat, akan ada protes dari sejumlah negara, khususnya Vietnam. Akan ada keluhan dari sejumlah anggota ASEAN. Lalu, selama periode waktu, ini akan menjadi normal," ujar Storey.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya