Mampukah Al Jazeera Bertahan di Pusaran Krisis Teluk?

Sebagian melihat, pemberitaan yang dimuat Al Jazeera merupakan pemicu konflik di antara negara-negara Teluk dan Mesir.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 08 Jun 2017, 17:00 WIB
Diterbitkan 08 Jun 2017, 17:00 WIB
Ilustrasi Al Jazeera
Ilustrasi Al Jazeera (AP Photo/Kamran Jebreili, File)

Liputan6.com, Doha - Jaringan media Al Jazeera dinilai memainkan peran dalam menentukan posisi Qatar di peta internasional. Keberadaannya, dianggap sebagai upaya negara kecil di kawasan Teluk itu untuk mengubah keunggulan finansialnya menjadi pengaruh dan visibilitas global.

Usaha Qatar dianggap berhasil. Salah satu yang terlihat adalah kesuksesan negara itu terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

Belakangan, Al Jazeera terseret pusaran konflik. Beberapa hari lalu, Kementerian Kebudayaan dan Informasi Arab Saudi mencabut izin operasional dan menutup kantor media tersebut.

Alasannya, media itu disebut-sebut mempromosikan plot teroris, mendukung milisi Houthi -- kelompok yang tengah diperangi Saudi di Yaman, dan diduga mencoba untuk mengompromikan keamanan Saudi dengan menghasut kerusuhan publik yang bertujuan untuk merugikan kedaulatan negara kerajaan tersebut.

Al Jazeera membela diri dan menegaskan, pihaknya objektif.

Langkah keras terhadap Al Jazeera diambil beberapa jam setelah Saudi mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar pada Senin 5 Juni. Belakangan, delapan negara lainnya, yakni Bahrain, Uni Emirat Arab, Mesir, Yaman, Libya, Maladewa, Mauritius, dan Mauritania juga mengikuti jejak Saudi.

Seluruhnya satu suara, menuding Qatar mendukung ekstremisme dan terorisme.

Qatar sendiri saat ini terisolasi. Mereka membantah semua tuduhan Saudi Cs dan menegaskan siap berdialog demi mengakhiri ketegangan.

Sebuah sumber di Doha mengatakan kepada BBC, reformasi media akan menjadi persyaratan utama yang ditujukan pada Qatar jika negara itu ingin memulai dialog. Al Jazeera mungkin tidak akan ditutup, namun kebijakan editorialnya harus berubah.

Sementara itu, jaringan televisi baru Qatar, Al Araby, yang berbasis di London ada kemungkinan akan ditutup.

"Selama bertahun-tahun, Al Jazeera telah menjadi pemicu pertengkaran negara-negara Teluk dan Mesir, bahkan sebelum masa jayanya yaitu saat mengabarkan Musim Semi Arab," ungkap Sultan Sooud al-Qassemi, seorang pengamat asal Uni Emirat Arab.

Al-Qassemi mencontohkan pada tahun 2002, Saudi sempat marah atas laporan Al Jazeera dan memutuskan untuk menarik duta besarnya. Sang dubes akhirnya dikirim kembali pada tahun 2008.

Pada tahun 2014, Qatar sempat berjanji akan berhenti "campur tangan" terkait urusan politik domestik negara tetangga. Pernyataan tersebut dilontarkan Qatar demi mengakhiri pertikaian diplomatik yang memicu Saudi, UEA, dan Bahrain menarik dubes mereka.

Terkait ketegangan teranyar, al-Qassemi memprediksi, negara-negara Teluk akan menuntut penutupan jaringan media Al Jazeera sebelum berbagai upaya media negosiasi dilangsungkan. Jelas hal tersebut akan memiliki konsekuensi besar, terutama bagi 3.000 staf Al Jazeera yang tersebar di berbagai belahan dunia.

H A Hellyer, seorang analis sekaligus penulis mengungkapkan, saat ini posisi Qatar lemah.

"Negara ini memiliki ruang gerak yang kecil dan setiap kesepakatan untuk membawa kebijakan luar negeri Qatar lebih dekat dengan Arab Saudi mungkin melibatkan perubahan pada jaringan media yang berpengaruh -- termasuk Al Jazeera -- dan mungkin juga Al Araby," tulis Hellyer dalam analisisnya.

Ahli Qatar di King's College London David Roberts juga setuju bahwa Al Jazeera akan masuk "daftar persyaratan" jika Qatar ingin mengakhiri ketegangan.

"Tapi ini adalah negosiasi dan tidak ada kepastian bahwa Qatar akan menyerah," kata Roberts.

Roberts menambahkan, meski layanan Al Jazeera dalam Bahasa Arab telah memperlunak laporannya, namun menurutnya media itu "masih berduri khususnya dalam isu Mesir".

Media itu sendiri telah berhenti "mengulik-ngulik" Arab Saudi sejak satu dekade lalu atau tepatnya setelah Riyadh mengirim kembali duta besar mereka.

'Perubahan Nada' Pemberitaan

Pada akhir tahun 2007, pemerintah Qatar dikabarkan meyakinkan Arab Saudi bahwa pemberitaannya terkait negeri pimpinan Dinasti Saud tersebut akan melunak.

"Ada perintah untuk tidak menangani persoalan Saudi tanpa mengacu pada manajemen yang lebih tinggi. Semua suara pembangkang lenyap dari layar kami," ujar salah seorang staf Al Jazeera kepada New York Times.

Laporan BBC memuat, layanan Al Jazeera Bahasa Arab sangat mendukung gelombang Musim Semi Arab tahun 2011 dan media itu dinilai secara terang-terangan menunjukkan dukungannya terhadap kelompok ekstremis.

Kondisi tersebut membuat media tersebut dianggap sebagai pilar kebijakan luar negeri Qatar dan cerminan ambisinya di dunia Arab yang tengah mengalami perubahan.

Al Jazeera disebut-sebut berada di garis depan ketegangan hubungan Mesir dan Qatar pasca-penggulingan Mohammed Morsi pada tahun 2013. Sementara itu di Suriah dan Irak, pemberitaan Al Jazeera menyangkut ISIS dianggap "berbeda" dengan media-media lainnya.

Media yang mengudara pertama kali pada tahun 1996 tersebut menjuluki ISIS sebagai "organisasi negara Islam", bertentangan dengan yang digunakan mayoritas media negara Arab yang menyebutnya "Daesh" -- lebih merendahkan.

Al Jazeera pertama kali menjadi perhatian global ketika media itu menayangkan pesan video dari Osama bin Laden pasca-teror 9/11. Setelah beberapa tahun mengudara, baru pada tahun 2006 layanan Bahasa Inggris Al Jazeera diluncurkan.

Pakar media Arab Noha Mellor mengatakan, "Jika Anda mengikuti laporan dari dua kanal (Bahasa Arab dan Bahasa Inggris), Anda tidak akan percaya bahwa ini media yang sama."

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya