Liputan6.com, Washington, DC - Tim penyelidik Amerika Serikat meyakini peretas Rusia telah menyerang kantor berita Qatar dan memublikasikan kabar palsu yang memicu krisis Teluk.
Pada 23 Mei, kantor berita negara itu memublikasikan pernyataan bersahabat emir Qatar terhadap Iran dan Israel. Tak hanya itu, dalam pernyataan tersebut, emir Qatar juga mempertanyakan kemampuan Trump untuk mempertahankan kekuasaannya.
Belakangan, Kementerian Luar Negeri Qatar menegaskan, situs media itu diretas dan pernyataan itu tidak ada hubungannya dengan emir Qatar.
Advertisement
Seperti dilansir CNN, Rabu (7/6/2017), pejabat Qatar dan AS menyatakan, FBI telah mengirimkan tim ke Doha untuk membantu negara itu menyelidiki dugaan peretasan tersebut.
Informasi intelijen yang dikumpulkan oleh badan keamanan AS itu mengindikasikan, peretas Rusia dalang di balik "gangguan" yang dikeluhkan pemerintah Qatar dua pekan lalu. Qatar sendiri merupakan salah satu rumah bagi pangkalan AS terbesar di kawasan Timur Tengah.
Tuduhan keterlibatan peretas Rusia meningkatkan kekhawatiran badan intelijen dan penegakan hukum AS bahwa negeri pimpinan Vladimir Putih tersebut terus berupaya melakukan serangan siber terhadap sekutu Negeri Paman Sam. Sama halnya, dengan dugaan peretasan yang terjadi dalam pemilu presiden AS tahun 2016.
Pejabat AS mengungkapkan, tujuan Rusia melakukan peretasan adalah untuk memicu perpecahan antara Washington dan sekutu-sekutunya. Dalam beberapa bulan terakhir, dugaan aktivitas siber Rusia termasuk soal berita palsu telah muncul di tengah-tengah pelaksanaan pemilu Prancis, Jerman, dan sejumlah negara lain.
Baca Juga
Belum diketahui apakah AS berhasil mengidentifikasi para peretas dalam kasus Qatar, apakah pelakunya organisasi kriminal Rusia atau dinas keamanan negara itu yang disebut-sebut bertanggung jawab atas serangan siber saat Pilpres AS. Seorang pejabat AS menegaskan, berdasarkan data intelijen di masa lalu "hanya terdapat sedikit aksi peretasan yang didalangi Rusia tanpa restu pemerintahnya."
FBI dan CIA menolak berkomentar. Namun juru bicara kedutaan Qatar di Washington mengatakan, penyelidikan tengah berlangsung dan hasilnya akan segera dirilis ke publik.
"Tuduhan apa pun yang dilontarkan (kepada kami) didasarkan pada informasi yang keliru dan menurut kami seluruh krisis ini berasal dari informasi yang salah: dimulai dari kabar palsu yang disisipkan di kantor berita kami yang diretas dan ini telah dibuktikan oleh FBI," tegas Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed Bin Abdulrahman al-Thani kepada CNN.
Sheikh Saif Bin Ahmed al-Thani, direktur kantor komunikasi pemerintah Qatar mengonfirmasi, Kementerian Dalam Negeri Qatar tengah bekerja sama dengan FBI dan Badan Kejahatan Nasional Inggris mengenai investigasi peretasan.
"Kementerian Dalam Negeri Qatar akan mengungkapkan temuan saat penyelidikan usai," ungkap Ahmed al-Thani.
Sebagai reaksi atas laporan yang dipublikasikan kantor berita Qatar tersebut, Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Mesir, Libya, Maladewa, dan Yaman memilih memutuskan hubungan ekonomi dan politik dengan Qatar. Krisis yang lebih luas pun terjadi.
Arab Saudi dan kawan-kawan menuding Qatar mendukung serta mendanai terorisme dan ekstremisme dan membela hubungan baik dengan Iran.
Selasa kemarin, Presiden Donald Trump mengkritik Qatar, mencerminkan dukungan AS terhadap Saudi Cs yang sejak lama memiliki kebijakan luar negeri berseberangan dengan Doha. Namun Trump tak membahas laporan palsu yang dirilis kantor berita Qatar tersebut.
Dalam kicauannya di Twitter, Trump menulis, "Mereka mengatakan akan mengambil sikap keras terhadap pendana ekstremisme dan semua referensi merujuk ke Qatar. Mungkin ini akan menjadi awal dari berakhirnya terorisme!."
Sosok kontroversial itu juga menyuarakan dukungannya terhadap blokade regional Qatar. Tuduhan Trump terkait mendanai terorisme dibantah oleh Qatar.
Menariknya, beberapa jam setelah Trump berkicau, Kementerian Luar Negeri AS mengatakan, Qatar telah membuat kemajuan dalam membendung pendanaan teroris. Meski demikian, ada banyak "pekerjaan rumah" yang harus dilakukan.
Intelijen AS telah lama khawatir dengan kemampuan pemerintah Rusia untuk "menanamkan" berita palsu di saluran tepercaya. Hal tersebut pernah disinggung oleh mantan Direktur FBI, James Comey.