Pengucilan Qatar Lebih Buruk dari Peristiwa Tembok Berlin

Sejauh ini 9 negara mengucilkan Qatar. Diawali oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 17 Jun 2017, 15:59 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2017, 15:59 WIB
Ali Bin Smaikh Al Marri Ketua Komite Hak Asasi Manusia Nasional Qatar (AP)
Ali Bin Smaikh Al Marri Ketua Komite Hak Asasi Manusia Nasional Qatar (AP)

Liputan6.com, Doha - Pemutusan hubungan diplomatik antara negara kawasan Teluk dan Qatar menuai beragam respons. Ketua National Human Rights Committee (NHRC) atau Komite Hak Asasi Manusia Nasional Qatar Ali Bin Smaikh Al Marri menilai, hal itu lebih buruk dari pada peristiwa sejarah Tembok Berlin -- dinding yang memisahkan 2 Jerman.

"Kebijakan ini lebih buruk dari pada Tembok Berlin," ujar Ali.

Menurut Ali, krisis Teluk berdampak luas hingga penutupan jalur udara, darat dan laut ke Qatar.

Di hadapan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, seperti dikutip dari laman Al Jazeraa, Sabtu (17/6/2017), Ali meminta badan dunia tersebut mengutuk blokade Qatar. Alasannya, karena dianggap melanggar hak lebih dari 13.000 warga di kawasan Teluk.

"Kebijakan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak keluarga," jelas Ali.

Menurut laporan yang dikeluarkan NHRC pada Kamis 15 Juni 2017, tindakan yang dilakukan oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan juga Mesir mengakibatkan banyak ibu yang terpisah dari anak-anaknya.

"Salah satu contohnya ketika seorang pria berkewarganegaraan Arab Saudi meninggal di Qatar. Kemudian anak-anaknya yang semula ingin menjemput dan melihat kondisi terakhir ayahnya dicegat oleh pemerintah Saudi. Sehingga pihak Qatar yang mengurus proses penguburan pria tersebut," tambah Ali.

NHRC juga menyebutkan lembaganya menerima ratusan keluhan akibat krisis Teluk itu melalui email, telepon, hotline bahkan kunjungan pribadi secara langsung ke markas besarnya di Doha, ibu kota Qatar.

Ali menilai kebijakan ini menimbulkan kerugian bagi ribuan orang. Jika blokade terus berlanjut, maka pihaknya ingin meminta Dewan Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) untuk membentuk misi pencarian fakta demi melihat dan menindaklanjuti pelanggaran yang terjadi.

Pria itu juga mengungkap fakta lain, di mana ada seorang siswi yang harus dipulangkan secara paksa ke Qatar saat mengenyam pendidikan di sebuah universitas di salah satu negara Teluk.

Upaya Penghentian Blokade Qatar

Selain Ali Bin Smaikh Al Marri, beberapa pejabat Qatar juga berencana untuk bertemu dengan parlemen Eropa untuk membahas kasus tersebut. Terutama terkait upaya untuk menghentikan aksi blokade tersebut.

Jika blokade masih berlanjut, pejabat Qatar juga berencana mengambil tindakan. Dengan membawa kasus itu ke Dewan Keamanan PBB.

Blokade ini terjadi setelah empat negara seperti Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain mengumumkan langkah pemutusan hubungan diplomatik serta semua hal yang berkaitan dengan urusan darat dan laut dengan Qatar.

Arab Saudi menegaskan, langkah itu dilakukan sebagai upaya melindungi negaranya dari tindak terorisme dan ekstremisme.

Arab Saudi secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dan konsuler dengan Qatar sebagai bentuk pelaksanaan hak kedaulatan negaranya, yang dijamin oleh hukum internasional dan perlindungan keamanan nasional dari bahaya terorisme dan ekstremisme.

Tak hanya itu, Saudi juga mendesak seluruh negara dan pelaku ekonomi seperti perusahaan di negaranya untuk mengambil langkah serupa.

Sama halnya dengan Kementerian Luar Negeri Bahrain yang akan menarik misi diplomatiknya di Doha. Penarikan misi diplomatik tersebut terjadi dalam kurun waktu 48 jam.

Bahrain juga memerintahkan agar seluruh diplomat Qatar meninggalkan negaranya dalam periode waktu yang sama. Langkah mengejutkan ini diambil Bahrain karena negara itu menilai media Qatar mendukung kegiatan dan pendanaan teroris bersenjata.

Tujuannya, diduga untuk melakukan sabotase dan menyebarkan kekacauan di Bahrain.

Sejauh ini 9 negara telah mengucilkan Qatar. Di awali oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain.

Tidak lama setelah itu, Yaman, Libya, Maladewa, Mauritius dan Mauritania mengambil langkah serupa.

 

 

Saksikan juga video berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya