Liputan6.com, Kairo - Di sejumlah negara, kebebasan pers dan jurnalisme merupakan barang langka. Masih ada sejumlah pegiat jurnalistik di sejumlah tempat di mancanagera yang terbelenggu dalam melakukan aktivitasnya.
Seperti pada kebanyakan kasus, salah satu faktor utama penyebab terbelenggunya kebebasan pers adalah, pemerintah yang tidak menghargai kebebasan bagi para jurnalis untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai corong informasi, kubu kritik pemangku kekuasaan, hingga pengungkap kebenaran untuk publik.
Indonesia pernah merasakan periode terkekangnya jurnalisme di masa Orde Baru. Pers dibelenggu, beberapa kantor berita dibredel, dan tak jarang sejumlah wartawan ditangkap oleh pemerintah. Alasannya, mereka dianggap mengancam stabilitas negara.
Advertisement
Baca Juga
Padahal, mereka yang dianggap sebagai 'pengancam stabilitas negara' adalah orang atau pihak yang --melalui jurnalisme-- berhasil mengungkap bobroknya sistem pemerintahan dan tata kelola birokrasi yang diselubungi korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang oleh rezim saat itu kerap ditutup-tutupi.
Namun kini di abad ke-21, pers dan jurnalisme di Indonesia telah lebih baik ketimbang periode sebelumnya. Terlebih lagi ketika gerakan HAM, masyarakat sipil, reformasi, dan kebebasan berbicara mulai tumbuh subur di Tanah Air.
Akan tetapi, di periode yang sama, masih banyak sejumlah negara yang belum memberikan penghargaan, penghormatan, dan kebebasan yang layak bagi pers dan jurnalisme.
Mesir adalah salah satunya.
Menurut pengakuan seorang jurnalis pria di Aleksandria, menjadi wartawan berarti harus bertaruh nyawa. Dan demi menghindari hal itu, pria tersebut harus beroperasi secara diam-diam di lapangan, dan kalau perlu, menyamar, demi melakukan tugasnya.
"Kami ada di urutan salah satu negara terburuk dalam kebebasan bermedia. Untuk menjadi wartawan di Mesir, anda harus mempertaruhkan nyawa anda," jelas seorang wartawan anonim dalam sebuah video dokumenter yang diproduksi oleh Zoomin.tv Indonesia, Jumat (28/7/2017).
"Itu sebabnya saya di sini bersembunyi, tidak bisa bergerak bebas. Saya hidup di negara, di mana membawa kamera, lebih berbahaya daripada membawa senjata api," tambahnya.
Saksikan video aksi wartawan Mesir yang harus menyamar kala mencari berita di negara itu:Â
Seperti yang dilansir dari Al Jazeera pada Mei 2017, sekitar ratusan jurnalis di Mesir telah ditangkap oleh otoritas setempat. Puncak pemicu bermula ketika pada 27 Desember 2016, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi menyetujui undang-undang tentang pendirian Supreme Council for the Administration of the Media, yang memiliki kewenangan untuk membredel media dan kantor berita yang dianggap 'mampu mengancam stabilitas negara'.
Pendirian badan itu justru dianggap oleh jurnalis Mesir dan dunia sebagai upaya untuk menggoyahkan kebebasan pers dan jurnalisme di Negeri Piramida.
"Pekerjaan saya, untuk mengungkapkan kebenaran. Mengungkapkan cerita kami yang tidak diketahui orang dan yang tidak ingin diungkapkan oleh pemerintah kami," jelas si jurnalis anonim.
Sementara itu, menurut World Press Freedom Index, Mesir duduk di posisi 159 dari 180 negara pada indeks yang mendata tentang kebebasan pers dan jurnalisme di berbagai dunia. Indeks itu juga menyebut Mesir sebagai 'penjara terbesar bagi jurnalis.'
"Saya sudah bekerja seperti ini selama lebih dari satu setengah tahun. Kondisi yang keras memaksa saya bekerja seperti ini. Saya punya banyak teman wartawan yang ditangkap, beberapa meninggalkan dunia jurnalistik untuk bekerja di bidang lain," ujar si jurnalis anonim.
"Kebebasan berbicara dan bermedia sangatlah penting. Saya harap suatu hari nanti, kami tinggal di negara yang menghargai kami (para jurnalis) dan kebebasan jurnalistik," tambahnya.