Adu Jotos hingga Perang Jeruk, 5 Festival Dunia Sarat Kekerasan

Berikut 5 festival budaya sarat kekerasan ternama di dunia. Apa saja?

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 09 Agu 2017, 08:15 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2017, 08:15 WIB
Semarak Bocah Nepal saat Meriahkan Gai Jatra Festival
Seorang anak Nepal meminum susu saat mengikuti Gai Jatra cow festival di Kathmandu, Nepal (8/8). (AFP Photo/Prakash Mathema)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah festival budaya biasanya diadakan oleh sekelompok komunitas tertentu untuk melestarikan tradisi turun-menurun yang telah berlangsung sejak ratusan hingga ribuan tahun.

Komunitas itu biasanya juga mengadakan festival guna merayakan perhelatan sakral, seperti pemujaan dewa-dewi, hari suci, atau menandai awal dari masa periode musim tertentu --musim panen, musim semi, dan lain sebagainya.

Sedangkan perhelatan lain diselenggarakan hanya sebatas untuk mempromosikan nilai-nilai budaya tertentu, seperti festival pakaian adat, rumah tradisional, atau pameran benda dan tarian kesenian.

Namun, ada pula kelompok budaya yang melaksanakan festival yang bersifat unik, eksentrik, dan sarat dengan aksi kekerasan. Pada perhelatan itu, adalah hal yang lazim bagi para individu yang terlibat untuk menghancurkan dan membakar benda, atau saling adu jotos, menendang, hingga berjibaku dengan satu sama lain.

Dari berbagai contoh, berikut 5 festival budaya sarat kekerasan yang ternama di dunia, seperti yang Liputan6.com rangkum dari Listverse.com, Rabu (8/8/2017).

1. Festival Abare, Jepang

Festival Abare (Wikimedia)

Perhelatan tahunan yang juga dikenal dengan nama 'Fire and Violence Festival' itu dilaksanakan setiap hari Jumat dan Sabtu pertama pada bulan Juli. Sebelumnya, peserta yang terlibat dalam ritual itu telah meminum Sake (alkohol khas Jepang) dalam jumlah yang berlebih, membuat mereka dalam kondisi mabuk.

Setelah mabuk, panita acara memicu para peserta untuk berbuat kerusakan, menghancurkan benda-benda yang telah disediakan oleh panitia. Menurut kepercayaan yang dianut dalam ritual itu, aksi destruktif tersebut akan menyenangkan hati Susanoo-no-Mikoto, dewa Shinto simbol laut dan badai.

Tak hanya itu, peserta festival juga turut serta dalam aksi pembakaran monumen yang dibuat dari tumpukan benda-benda mudah terbakar yang telah usang. Tumpukan itu dibakar hingga menjadi api unggun, kemudian para peserta menari diiringi musik asal tak berirama menggunakan instrumen seperti drum, lonceng, dan suling.

 

2. Festival Takanakuy, Peru

Secara terjemahan kasar, Takanakuy berarti 'kala darah yang mendidih'. Festival itu dilaksanakan di Provinsi Chumbivilcas, Peru, pada hari Natal.

Festival dibuka dengan tarian yang dilakukan oleh lima orang berpakaian tradisional. Tarian itu merupakan simbolisasi kolonialisme yang pernah terjadi di Peru.

Namun, yang menarik dari festival itu adalah pada puncak acara yang ditandai dengan perkelahian satu lawan satu yang dilakukan oleh penduduk Provinsi Chumbivilcas. Petarung biasanya adalah laki-laki, meski ada pula satu-dua peserta perempuan.

Perkelahian itu turut diawasi oleh seorang wasit yang berwenang untuk mengendalikan riuh atmosfer peserta dan penonton. Jika situasi mulai menegang dan melampaui batas, wasit akan mengintervensi.

Festival itu ternyata menarik turis domestik dan asing. Setidaknya, setiap tahun, sekitar 3.000 wisatawan datang untuk menyaksikan Takanakuy.

 

3. Festival Santo John, Porto, Portugal

Festival Saint John (Wikimedia)

Perhelatan itu, dalam bahasa Portugis bernama Festa De Sao Joao Do Porto, dilaksanakan setiap tahun pada 23 Juni di Ibu Kota Portugal, Porto. Ritual yang berakar dari budaya pagan bangsa Portugis itu menarik ribuan turis domestik dan mancanegara setiap tahunnya.

Menurut riwayat, festival itu merupakan penanda kebiasaan masyarakat tradisional Portugis yang rutin mengumpulkan bawang putih dan daun bawang setiap pertengahan tahun.

Dan menurut kepercayaan pagan saat itu, bawang putih dan daun bawang dipercaya sebagai simbol kesuburan. Maka, agar warga dan pertanian terus mengalami kesuburan, masyarakat mengadakan ritual simbolik khusus, yakni dengan memukul tubuh setiap individu dengan batang daun bawang dan segepok bawang putih.

Tradisi itu berlanjut hingga tahun ke tahun. Namun, pada suatu periode, warga yang jengah dengan memar yang timbul akibat pukulan batang daun bawang dan segepok bawang putih, mengganti alat pemukul itu dengan sebuah benda plastik.

Dan seiring waktu, pemukul pada festival itu hanya dikhususkan menggunakan palu plastik yang mampu menimbulkan suara berdesing yang unik. Dan menurut peserta, palu plastik itu tidak membuat sakit dan memar seperti menggunakan batang daun bawang.

Namun, eksistensi batang daun bawang dan bawang putih tetap hadir di setiap festival Santo John, di Porto.

 

4. Saidai-ji Eyo Hadaka Matsuri, Jepang

Festival Hadaka Matsuri (Wikimedia)

Jika diterjemahkan secara gamblang, perhelatan itu bernama 'Festival of Naked Fighting Men' atau Festival Pria yang Bertarung Telanjang. Festival itu dilaksanakan setiap tahun di Kuil Saidaiji, Okayama, Jepang.

Teknisnya, sekitar 9.000 peserta yang terlibat tidak seutuhnya telanjang bulat. Mereka berbalut kain putih untuk menutupi bagian kemaluannya, identik seperti atlit Sumo. Selain kain putih itu, para peserta tidak diizinkan menggunakan kain penutup lain.

Akan tetapi, uniknya adalah, festival itu tidak sungguh-sungguh menampilkan 9.000 pria yang saling berjibaku. Para peserta justru sebenarnya terlibat dalam sebuah kompetisi untuk memasukkan 100 batang kayu ke dalam wadah --yang telah disediakan panitia.

'Pertarungan' yang dimaksud adalah prosesi ketika 9.000 pria itu memperebutkan 100 batang kayu secara serempak. Perbandingan yang sangat jauh --antara jumlah pria dengan batang kayu yang diperebutkan-- itulah yang membuat para peserta saling berjibaku.

Dan kabarnya, pada edisi sebelumnya, sejumlah pria dilaporkan tewas akibat terinjak-injak oleh peserta lain dalam memperebutkan batang kayu tersebut.

 

5. Pertempuran Jeruk, Italia

Pertempuran Jeruk (Wikimedia)

Tidak jelas memang asal Pertempuran Jeruk tahunan di Ivrea, Italia.

Legenda mengatakan bahwa sekitar abad ke-12, kota itu pernah diperintah oleh seorang bangsawan yang sangat jahat. Gila berkuasa, sang aristokrat berusaha memperkosa putri perkebunan lokal.

Yang mengejutkannya, si perempuan itu justru berhasil melawan. Tak tanggung-tanggung, ia mampu menginspirasi revolusi yang dilakukan para kaum proletar terhadap sang bangsawan.

Setelah revolusi, sang bangsawan berhasil dipenggal dan istananya dibakar hingga abu.

Dan beberapa tahun pasca-revolusi itu, sebuah reka adegan dilaksanakan demi mengenang kembali peristiwa itu.

Jika pada kejadian yang sebenarnya pertempuran menggunakan batu dan kerikil, maka pada reka adegan, peserta festival menggunakan jeruk sebagai subtitusi.

Ratusan boks jeruk ditumpuk di jalan untuk siapa saja yang ingin ikut serta dalam perayaan tersebut. Di sana, peserta yang berperan sebagai kaum proletar menunggu kedatangan kelompok peserta lain yang berperan sebagai bangsawan.

Saat kedua kelompok berpapasan, aksi saling melempar jeruk pun dilakukan. Para penonton yang terdiri dari turis domestik dan asing pun menyebutnya sebagai 'Pertempuran Jeruk'.

Meski terkesan remeh, namun dampak yang timbul terkena lemparan jeruk mampu mengakibatkan memar dan lebam, apa lagi jika menyasar ke kepala. Sedikitnya sekitar puluhan orang dirawat karena luka-luka pada sejumlah edisi festival.

 

Saksikan juga video berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya