Liputan6.com, Pyongyang - Pada hari ini, Sabtu, 9 September 2017, Korea Utara merayakan hari jadinya yang ke-69. Orang-orang bergiliran meletakkan karangan bunga, membungkukkan badan di depan patung Kim Il-sung dan Kim Jong-il di Bukit Mansu.
Parade besar-besaran lalu digelar di Pyongyang. Dengan mengenakan pakaian terbaiknya, warga bersorak merayakan apa yang diklaim Korut sebagai keberhasilan uji coba bom hidrogen.
Advertisement
"Kami dengan tegas mendukung pemimpin tertinggi, Kamerad Kim Jong-un. Negara kami akan menjadi lebih kuat sebagai kekuatan nuklir yang mandiri," kata Pak Kum-hyang, warga Pyongyang, seperti dikutip dari situs SBS Australia, Sabtu (9/9/2017).
Di sisi lain, dunia mengawasi manuver rezim Kim Jong-un dengan cemas.
Baca Juga
Sebelumnya, Perdana Menteri Korsel Lee Nak-yon memprediksi, pihak Utara akan meluncurkan rudal balistik antarbenua (ICBM) di tengah peringatan berdirinya Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK).
Jika bukan hari ini, misil diperkirakan akan mengudara pada Minggu, 10 September 2017, saat Korut merayakan ulang tahun Partai Pekerja yang berkuasa.
Pekan lalu, Korut membuat seisi Bumi ketar-ketir. Sebab, negara itu diduga telah melakukan uji coba nuklir keenam, sekaligus yang terkuat. Pyongyang mengklaim, ledakan yang memicu gempa lokal dengan kekuatan 6,3 SR tersebut berasal dari ledakan senjata termonuklir, yang konon bisa dipasang di rudal antarbenua milik mereka.
Namun, hingga Sabtu sore, belum terdeteksi adanya uji coba yang dilakukan Korut. Namun, Seoul mengaku terus waspada.
"Militer kami terus mempertahankan postur pertahanannya yang paling tangguh, tetap mengawasi Utara. Tapi, tidak ada yang luar biasa," kata salah satu juru bicara Kementerian Pertahanan Korsel.
Sebelumnya, Kim Jong-un kerap meluncurkan rudal pada hari-hari nasional Korut, terutama pada 9 September. Lalu, apa yang membuatnya mengurungkan niat?
Kali ini, niat Kim Jon-un mungkin "tak direstui langit", lewat perantaraan badai matahari.
Erupsi massa dan energi dari matahari berpotensi menimbulkan ancaman pada perangkat teknologi. Misil Korut bisa saja kehilangan data dan perlengkapan pendukungnya. Jika itu terjadi, rudal itu bakal tak terkendali.Â
Seperti dikutip dari News.com.au, Lance Gatling, konsultan kedirgantaraan Nexial Research di Tokyo, mengatakan, efek badai matahari mungkin menghentikan niat Kim Jong-un untuk melepaskan rudal antarbenua.
Menurut pusat penelitian cuaca antariksa di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), badai matahari yang terjadi saat ini berada di level G4, yang masuk kategori parah.
Dampaknya bisa berimbas pada sistem tenaga listrik, operasi pesawat antariksa, dan lainnya. Di sisi lain, radiasi elektromagnetik yang diakibatkan bisa memicu munculnya tarian
aurora yang indah di langit dekat kutub.
Terbesar Sejak 2005
Sebelumnya, Badan Antariksa Amerika Serikat mengabadikan penampakan suar matahari (solar flare) di Zona Aktif 2673 (AR 2673) pada Jumat, 8 September 2017 -- yang menjadi ledakan radiasi berenergi paling tinggi keenam sejak Senin, 4 September lalu. Para ilmuwan mengklasifikasikannya dalam kategori M8,1.
Namun, kekuatannya kalah besar dari yang terjadi pada Rabu, 6 September 2017, yang masuk kategori "monster", dengan kekuatan X9,3 -- yang merupakan suar surya paling kuat sejak 2005.
Suar surya yang kuat kerap disertai lontaran massa korona atau coronal mass ejections (CME), erupsi yang mengirimkan awan plasma matahari superpanas ke angkasa, beberapa juta mil per jam.
CME yang menghantam ke Bumi dapat memicu badai geomagnetik, yang dapat mengganggu jaringan listrik dan komunikasi satelit, meski sifatnya sementara.Â
Sebelumnya, NASA mengatakan, pada 23 Juli 2012, Bumi nyaris terkena lontaran massa korona, dari badai matahari paling kuat dalam kurun waktu 150 tahun.
Meski luput mengenai planet manusia, badai matahari menghantam satelit Solar Terrestrial Relations Observatory (STEREO-A) milik badan antariksa itu.Â
Satu-satunya yang sebanding dengan CME pada Juli 2012 adalah peristiwa Carrington Event yang terjadi pada September 1859. Suar awalnya secara langsung diamati oleh astronom Inggris, Richard Carrington.
Kala itu sejumlah CME berkekuatan tinggi menghantam Bumi selama beberapa hari berturut-turut. Northern Lights atau aurora memanjang hingga selatan Kuba. Saluran telegraf global terputus, bahkan memicu api yang membakar sejumlah kantor telegraf.