Krisis Rohingya, Masih Berlakukah Prinsip Non-Intervensi ASEAN?

Bagaimana seharusnya negara-negara anggota ASEAN menanggapi kasus Rohingya dengan adanya prinsip non-intervensi?

oleh Citra Dewi diperbarui 15 Sep 2017, 17:03 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2017, 17:03 WIB
Pengungsi Rohingya
Sejumlah anak pengungsi Rohingya mengisi air dari pompa di sebuah kamp pengungsi di New Delhi, India (12/9). Pengungsi Rohingya di India diancam pemerintah untuk dideportasi kembali ke Myanmar. (AP Photo/Altaf Qadri)

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah gelombang kekerasan yang dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar, Indonesia menjadi negara pertama yang diterima otoritas negara tersebut.

Retno Marsudi menjadi menteri luar negeri pertama yang masuk ke Myanmar dan mengadakan pertemuan dengan otoritas negara tersebut untuk membahas masalah yang terjadi di Rakhine. Upaya diplomatis tersebut pun didukung banyak pihak, termasuk Eropa.

Meski demikian, Komisioner ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, Dinna Wisnu, mengatakan bahwa beban tersebut tak seharusnya hanya ditanggung oleh Indonesia.

Ia menyebut, Indonesia perlu memimpin inisiatif regional di ASEAN untuk krisis kemanusiaan Rohingya. Selain itu, negara anggota ASEAN juga harus menunjukkan bahwa mereka betul-betul peduli pada HAM.

Lalu, bagaimana dengan adanya prinsip non-intervensi yang dipegang perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu?

Menurut Dinna, prinsip non-intervensi yang dianut oleh ASEAN tak relevan jika membicarakan soal kasus Rohingya. Dalam sebuah diskusi di Griya Gus Dur, ia menyampaikan tiga alasan tak relevannya prinsip tersebut.

"Pertama, kita sudah melakukan tahapan diplomatik melalui pembicaraan intensif bilateral antarmenlu, maupun dengan otoritas militer di Myanmar. Indonesia bahkan sudah menjembatani dialog dan bantuan ke Bangladesh," ujar Dinna pada Kamis (15/9/2017).

"Kedua, masalah di Rakhine itu adalah masalah politik dalam negeri Myanmar yang terbukti tidak bisa diselesaikan oleh Myanmar," kata perempuan lulusan Ohio State University itu.

Ia menambahkan, kasus Rohingya sudah sampai titik krisis kemanusiaan dan dampaknya sangat negatif bagi kawasan. Bila Indonesia memang betul berkomitmen aktif mencari perdamaian dunia dan keadilan sosial, menurutnya RI perlu secara konkret mengimplementasikan komitmen tersebut pada saat krisis.

"Ketiga, menurut saya tidak elok meminta Myanmar menyelesaikan masalah ini sendiri, atas dasar non-intervensi tadi, karena di lapangan belum ada gerakan masyarakat sipil yang kuat yang bisa menghentikan problem kemanusiaan dari dalam," ujar Dinna.

Menurutnya, merupakan hal mustahil membiarkan Myanmar menyelesaikan masalah Rohingya dari dalam, melihat dinamika politik di sana dan sifat pemerintah junta militer. Ia juga mengusulkan adanya bentuk keterlibatan ASEAN yang dikelola dan dipimpin oleh Indonesia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya