Liputan6.com, Naypyidaw - Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, dikabarkan tak akan menghadiri sidang Majelis Umum PBB pada pekan depan. Hal itu dilakukan di tengah sorotan dunia atas krisis kemanusiaan Rohingya.
Sekitar 370.000 muslim melarikan diri dari Rakhine, Myanmar, ke Bangladesh sejak gelombang kekerasan kembali merebak pada bulan lalu. Sebagian wilayah desa dilaporkan telah rata dengan tanah akibat dibakar.
Advertisement
Baca Juga
PBB pun menuduh pemerintah Myanmar telah melakukan pembersihan etnis. Sementara itu, militer Myanmar mengatakan bahwa pihaknya hanya memerangi gerilyawan Rohingya dan membantah laporan telah menargetkan warga sipil.
Warga Rohingya beberapa kali harus merasakan gelombang kekerasan. Menurut sejumlah laporan, mereka kerap mendapat diskriminasi karena tak menjadi warga negara resmi Myanmar. Dewan Keamanan PBB dijadwalkan bertemu untuk mendiskusikan krisis tersebut.
Suu Kyi, yang mendapat Nobel Perdamaian pada 1991, mendapat kritik secara luas dari mantan pendukungnya di negara-negara Barat karena gagal mencegah kekerasan tersebut.
Rekan peraih Nobel, termasuk Dalai Lama, Demond Tutu, dan Malala Yousafzai, telah meminta Suu Kyi untuk menghentikan kekerasan yang dialami warga Rohingya.
Dikutip dari BBC, Rabu (13/9/2017), Suu Kyi diharapkan berpartisipasi dalam diskusi di sidang Majelis Umum di New York yang berlangsung dari 19 sampai 25 September 2017.
Namun, Juru Bicara Pemerintah Myanmar, Aung Shin, mengatakan bahwa kemungkinan Suu Kyi memiliki masalah yang mendesak untuk ditangani sehingga tak hadir dalam sidang tersebut. Ia menambahkan, Suu Kyi tak pernah takut menghadapi kritik atau menghadapi masalah.
Â
Pesan Bangladesh kepada Myanmar
Saat menghadiri sidang Majelis Umum pada tahun lalu, Suu Kyi membela usaha pemerintahnya untuk menyelesaikan krisis yang dialami warga Rohingya.
Sementara itu, utusan Myanmar untuk PBB menyalahkan gerilyawan Rohingya atas kekerasan yang terjadi di Rakhine. Ia juga mengatakan bahwa negaranya tak akan pernah menoleransi kekejaman tersebut.
Namun, banyak warga Rohingya yang melarikan diri mengatakan bahwa tentara Myanmar menanggapi serangan militan Rohingya pada 25 Agustus dengan jalan kekerasan dan membakar desa. Hal itu dianggap sebagai upaya untuk mengusir mereka.
Pada 12 September 2017, Myanmar mengecam usulan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Zeid Raad al-Huussein, yang mengatakan bahwa perlakuan terhadap warga Rohingya dapat disebut sebagai pembersihan etnis.
Sementara itu, Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, meminta Myanmar untuk membawa pengungsi Rohingya kembali.
"Pesan pribadi saya sangat jelas, bahwa mereka harus mempertimbangkan situasi ini dengan rasa kemanusiaan karena orang-orang ini, anak-anak, perempuan, mereka semua menderita," ujar Hasina.
"Mereka milik Myanmar, selama 100 tahun atau lebih mereka tinggal di sana, bagaimana Myanmar bisa menyangkal bahwa mereka bukan warganya?" imbuh Hasina.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement