AS Setuju Kekerasan atas Rohingya Adalah Pembersihan Etnis

AS akhirnya resmi menyebutkan bahwa kekerasan yang menimpa warga Rohingya adalah pembersihan etnis.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 23 Nov 2017, 08:42 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2017, 08:42 WIB
Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson
Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Liputan6.com, Washington, DC - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson menyatakan bahwa apa yang menimpa warga minoritas Rohingya di Myanmar adalah tindakan "pembersihan etnis". Pernyataan Tillerson itu menandai perubahan sikap Negeri Paman Sam setelah sebelumnya menolak menggunakan istilah tersebut.

"Apa yang kita ketahui terjadi di negara bagian Rakhine... memiliki sejumlah karakteristik kejahatan terhadap kemanusiaan," ujar Tillerson pada 15 November pasca-mengunjungi Myanmar seperti dikutip dari CNN pada Kamis (23/11/2017).

Saat itu, ia menambahkan, "Apakah memenuhi seluruh kriteria pembersihan etnis, kita masih harus terus menyelidiki".

Sementara itu, pada Rabu kemarin, diplomat tertinggi AS itu tegas mengecam tindakan militer Myanmar. Meski di lain sisi, ia tetap memberikan dukungan yang terkesan hati-hati terhadap pemimpin sipil, Aung San Suu Kyi, yang berbagi kekuasaan dengan militer di bawah struktur pemerintahan Myanmar.

"Tidak ada provokasi yang dapat membenarkan kekejaman mengerikan yang telah terjadi," ungkap Tillerson setelah mengakui bahwa serangan milisi Rohingya Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) telah memicu krisis yang terjadi saat ini.

"Pelanggaran yang dilakukan militer, pasukan keamanan dan warga setempat telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa... Setelah melakukan analisis yang teliti atas fakta-fakta yang ada, jelas bahwa situasi di negara bagian Rakhine utara merupakan pembersihan etnis terhadap Rohingya," tegasnya.

Terkait dengan krisis teranyar Myanmar yang pecah pada Agustus lalu, AS dinilai bermain dalam koridor aman. Pejabat AS mengecam kekerasan sembari menghindari kritik yang dapat membahayakan kesepakatan pembagian kekuasaan yang rapuh antara Aung San Suu Kyi dan militer.

Bahkan saat pejabat Kementerian Luar Negeri AS mengumumkan keputusan untuk menyebut kekerasan terhadap Rohingya sebagai "pembersihan etnis", mereka berhati-hati untuk tidak mengaitkan kekerasan tersebut secara langsung dengan Aung San Suu Kyi. Mereka juga menunjukkan bahwa pelabelan ini tidak memiliki konsekuensi hukum yang spesifik meski pemerintah mempertimbangkan langkah-langkah lain yang dapat dilakukan.

Menurut pejabat Kemlu AS, pihaknya tengah mempertimbangkan langkah tambahan yang dapat dilakukan dengan negara lain atau secara unilateral termasuk menargetkan sanksi. Walaupun tidak ada pernyataan lebih lanjut perihal pembersihan etnis, namun sikap Tillerson diharapkan akan meningkatkan tekanan untuk memulangkan para pengungsi serta mendesak militer dan pemerintahan Myanmar bekerja efektif untuk merespons peristiwa di lapangan.

Sejarah Penindasan yang Panjang

Pernyataan Tillerson meluncur kurang dari sepekan sebelum Paus Fransiskus dijadwalkan mendarat di Myanmar dalam kunjungannya selama sepekan di kawasan. Pemimpin Tertinggi Umat Katolik itu juga akan menyambangi Bangladesh yang menjadi "rumah" bagi para pengungsi Rohingya.

Otoritas Myanmar yang mayoritas beragama Buddha dilaporkan memiliki sejarah panjang terkait dengan kekerasan dan penindasan terhadap minoritas Rohingya. Sejak 25 Agustus lalu, diperkirakan 615 ribu warga Rohingya telah melarikan diri dengan menyeberangi perbatasan ke Bangladesh.

Mereka yang selamat sampai tujuan membawa cerita tentang pembunuhan massal, pemerkosaan serta penghancuran rumah dan properti lainnya.

Myanmar telah berulang kali menolak klaim bahwa pihaknya dengan sengaja menyerang warga sipil Rohingya. Mereka menegaskan berperang melawan milisi ARSA. Penyelidikan internal pemerintahan Myanmar sama sekali membebaskan militer dari dugaan kekejaman terhadap warga Rohingya.

Menlu AS Rex Tillerson bukanlah yang pertama melabeli kekerasan militer Myanmar terhadap Rohinya sebagai pembersihan etnis. Sebelumnya, melalui juru bicaranya, Perdana Menteri Inggris Theresa May pada 13 November mengatakan bahwa tindakan militer Myanmar di Rakhine "seperti pembersihan etnis".

Selain itu, May menekankan bahwa yang terjadi adalah "krisis kemanusiaan besar."

Dua bulan sebelumnya, hanya beberapa pekan setelah kekerasan meletus, Zeid Ra'ad Al Hussein yang merupakan komisioner tinggi PBB untuk HAM mengatakan bahwa operasi militer di Myanmar merupakan "contoh dari pembersihan etnis."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya