Liputan6.com, Washington, DC - Salah satu organisasi politik besar di Palestina, Hamas telah menyerukan gerakan pemberontakan (intifada) baru untuk melawan Israel, yang dimulai pada Jumat 8 Desember 2017. Seruan intifada itu menyusul klaim Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Berbicara di Gaza pada Kamis 7 Desember 2017, pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh mengatakan, "Kami harus menyerukan dan bersiap melakukan intifada untuk melawan musuh zionis". Demikian seperti dikutip Deutsche Welle, Jumat (8/12/2017).
Haniyeh menambahkan, "Kami ingin pemberontakan berlangsung terus menerus dan membuat Donald Trump serta kelompok yang melakukan pendudukan menyesali keputusan mereka.
Advertisement
Dalam akun Twitter mereka, Hamas, yang mengutip perkataan Haniyeh, juga menulis bahwa keputusan AS tersebut merupakan deklarasi perang terhadap Palestina.
Baca Juga
Seruan intifada Hamas, yang merespons keputusan AS atas Yerusalem, telah meningkatkan kekhawatiran mengenai kekerasan serta instabilitas di kawasan.
Kini, sehari usai Hamas menyerukan intifada, media asing melaporkan adanya gerakan demonstrasi di sejumlah titik di Palestina, seperti di Tepi Barat dan Gaza. Merespons aksi protes itu, Israel mengerahkan pasukan keamanan.
Bentrok terjadi antara massa aksi dengan aparat keamanan Israel di Bethlehem. Aparat dilaporkan menembakkan meriam air dan gas air mata ke kerumunan massa aksi. Akibatnya, sekitar 15 demonstran dilaporkan terluka, kata Organisasi Bulan Sabit Merah Palestina.
Rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk merespons gerakan aksi protes dengan mengerahkan lebih banyak pasukan di kawasan, juga semakin memperburuk tensi tinggi di kawasan.
Tak hanya itu, rencana politik PM Netanyahu untuk meningkatkan koordinasi dengan Washington, khususnya terkait pemindahan lokasi Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem kian memperkeruh situasi.
"Kami juga telah menjalin kontak dengan negara lain agar mereka melakukan pengakuan serupa. Dan saya yakin, setelah AS memindahkan kedutaan mereka ke Yerusalem, maka akan banyak kedutaan negara lain yang melakukan langkah serupa," papar Netanyahu.
Fatah Dorong Diplomasi
Jika Hamas menyerukan intifada, satu organisasi politik lain di Palestina, Fatah, mengimbau agar gerakan aksi protes warga Palestina harus dilakukan secara damai tanpa kekerasan.
Fatah, yang saat ini menjadi organ dominan dalam pemerintah Palestina yang secara de jure diakui, juga mendorong agar penyelesaian atas krisis Yerusalem diselesaikan lewat jalan diplomatik.
"Segala aksi protes harus dilakukan secara damai tanpa menggunakan senjata, yang akan mengarah pada kepentingan nasional Palestina," kata Juru Bicara Fatah, Nasser Al Kidwa.
Apakah Intifada?
Dalam Bahasa Inggris, intifada secara harafiah berarti 'pemberontakan' atau 'pergolakan'. Namun, dalam konteks Bahasa Arab, makna murni kata itu berarti 'menggoncang' atau 'melepaskan sesuatu'.
Ketika intifida digunakan dalam konteks perjuangan politik, kata itu menggambarkan dekade perjuangan yang dilakukan oleh orang Palestina secara terorganisir, dari akar rumput hingga tatanan strata pemerintahan teratas, guna melawan Israel.
Hingga saat ini, sudah ada dua intifada yang terjadi dalam sejarah perjuangan Palestina.
Intifada pertama dimulai pada 1987 dan berakhir pada 1993. Pergolakan intifada pertama ditandai dengan gejolak pelemparan batu dan kerusuhan.
Penandatangan perjanjian damai, antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diwakili Mahmoud Abbas, Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres, dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Warrem Christopher, pada 1993 menandai akhir dari intifada pertama.
Intifada kedua, yang jauh lebih berdarah, pecah pada 2000 dan berlangsung selama lebih dari empat tahun.
Berbeda dengan jilid pertama, intifada kedua lebih mirip dengan pemberontakan kekerasan. Penembakan dan pembunuhan terhadap bocah 12 tahun Mohammed Al Dura pada hari kedua pemberontakan memicu riak aksi kekerasan yang meliputi tembak-menembak dan serangan bom.
Jilid kedua berakhir dengan kesepakatan antara Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan PM Israel Ariel Sharon pada 2005.
Intifada ketiga telah diprediksi terjadi beberapa kali dalam waktu dekat. Sejak 2014, ada kekhawatiran akan meningkatnya kekerasan setelah penculikan dan pembunuhan terhadap tiga remaja Israel. Bentrokan pecah di jalan-jalan di Yerusalem Timur setelah ditemukannya mayat seorang remaja Arab.
Tahun ini, para pengamat mencatat adanya peningkatan kekerasan di Yerusalem ketika Israel menutup sepenuhnya Bukit Bait Suci kepada pemuja Muslim, setelah tiga warga Palestina Israel membunuh dua petugas polisi Israel di dekat lokasi tersebut.
Sejumlah pengamat percaya, sikap Donald Trump memicu eskalasi ketegangan yang telah terakumulasi dalam beberapa tahun terakhir dan akan menyulut intifada ketiga.
Beberapa ahli percaya bahwa Hamas dan Fatah, yang merupakan faksi terbesar Organisasi Pembebasan Palestina, sekarang mungkin dipaksa melakukan eskalasi kekerasan secara sporadis. Demikian seperti dikutip dari The Washington Post.
Advertisement