Jepang Kembangkan Tes Urine untuk Deteksi Kanker

Perusahaan Jepang Hitachi bersiap melakukan uji coba pendeteksian kanker dengan menggunakan sampel urine atau air seni.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Apr 2018, 07:48 WIB
Diterbitkan 18 Apr 2018, 07:48 WIB
Ilustrasi Foto Air Seni atau Urine
(Ilustrasi) Perusahaan Jepang melakukan uji coba pendeteksian kanker dengan menggunakan sampel urine atau air seni (iStockphoto)

Liputan6.com, Tokyo - Perusahaan Jepang, Hitachi, bersiap melakukan uji coba pendeteksian kanker dengan menggunakan sampel urine atau air seni. Percobaan yang disebut-sebut sebagai yang pertama di dunia akan membantu upaya deteksi penyakit mematikan tersebut.

Dua tahun lalu, para insinyur dan teknisi Teknologi Informasi Hitachi mengembangkan teknologi dasar untuk mendeteksi kanker payudara dan kanker usus dengan menggunakan sampel urine. Demikian dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (17/4/2018).

Hitachi akan mulai menguji metode tersebut dengan menggunakan 250 sampel urine untuk melihat apakah masih bisa dianalisis bila dalam kondisi suhu ruangan, kata juru bicara Hitachi, Chiharu Odaira.

"Bila metode itu dipraktikkan, akan memudahkan orang-orang untuk menjalani tes kanker karena tidak perlu ke tempat pelayanan medis untuk tes darah," ujarnya.

Cara kerjanya, teknologi Hitachi itu akan mendeteksi kandungan dalam sampel urine yang berfungsi sebagai "penanda biologis" atau biomarker.

Biomarker adalah zat yang terjadi secara alami untuk mengidentifikasi penyakit tertentu, termasuk kanker, kata Hitachi dalam pernyataannya.

 

Saksikan juga video berikut ini:

Bisa Deteksi Kanker pada Anak

Ilustrasi Foto Air Seni atau Urine
Ilustrasi Foto Air Seni atau Urine (iStockphoto)

Tes urine ini juga bertujuan mendeteksi berbagai jenis kanker pada anak. Penggunaan tes ini akan membantu pasien anak-anak yang sering kali takut jarum, kata juru bicara Hitachi, Chiharu Odaira.

Uji coba akan dimulai tahun ini, April hingga September, bekerja sama dengan Universitas Nagoya.

Targetnya, Hitachi bisa menerapkan teknologi ini pada 2020. Namun hal ini tergantung berbagai hal, termasuk persetujuan dari para otoritas medis, kata Odaira.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya