Amerika Serikat Resmi Membatasi Visa untuk Myanmar dan Laos

Pekan ini, Amerika Serikat resmi membatasi pemberian visa terhadap warga negara Myanmar dan Laos.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Jul 2018, 09:36 WIB
Diterbitkan 11 Jul 2018, 09:36 WIB
Bikin Menggigil, Warga Ikuti Renang Air Dingin di Polar Bear Club
Perenang Polar Bear Club membawa bendera Amerika Serikat bersiap terjun ke air dingin pantai Samudera Atlantik di Coney Island, New York (1/1). Mereka berenang di pantai Samudera Atlantik dengan suhu 17 derajat Fahrenheit. (Yana Paskova/Getty Images/AFP)

Liputan6.com, Washington DC - Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberlakukan pembatasan visa bagi Myanmar dan Laos, karena kedua negara tersebut dituding menolak warga negaranya yang dideportasi dari negeri Paman Sam. 

"Maynmar dan Laos telah menolak, atau secara tidak masuk akal, menunda menerima warga negara mereka yang diperintahkan pergi dari Amerika," kata Departemen Keamanan Dalam Negeri dalam sebuah siaran pers, sebagaimana dikutip dari VOA Indonesia pada Rabu (11/7/2018).

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada Selasa, 10 Juli 2018, memerintahkan kantor konsuler di kedua negara untuk memulai pembatasan pemberian kategori visa tertentu.

Berikut rincian dari pembatasan tersebut.

Myanmar: Menghentikan penerbitan semua visa kerja B1 dan visa perjalanan B2 non-imigran untuk pejabat di tingkat Direktur Jenderal dan diatasnya, untuk Kementerian Tenaga Kerja, Imigrasi, dan Kependudukan (MOLIP) dan Urusan Dalam Negeri (MOHA), serta anggota keluarga dekat mereka, dengan pengecualian terbatas. 

Laos: Menghentikan "penerbitan semua visa non-imigran B1, B2, dan B1/B2 untuk pejabat di tingkat Direktur Jenderal dan di atasnya dari Kementerian Keamanan Publik Laos (MPS) serta keluarga langsung mereka, dan semua visa non imigran A3 dan G5 bagi diplomatik dan karyawan organisasi internasional yang dipekerjakan oleh pejabat pemerintah Laos, dengan pengecualian terbatas.

Pernyataan yang dikeluarkan Departemen Keamanan Dalam Negeri AS atau DHS, menambahkan bahwa "tanpa tanggapan yang tepat" sanksi "bisa diperluas terhadap populasi yang lebih luas."

Kebijakan itu akan dilanjutkan hibgga Kementerian Dalam Negeri menyimpulkan bahwa "kerja sama dalam proses deportasi telah mencapai tingkat yang bisa diterima."

Saat ini, Myanmar dan Laos berada dalam daftar negara yang dianggap tidak bersedia bekerja sama dengan Amerika Serikat. Daftar ini termasuk sembilan negara yang menolak menerima warganya yang dideportasi oleh Washington. 

 

Simak video pilihan berikut:

 

Kesepakatan Repatriasi Dinilai Merugikan

Banjir dan Tanah Longsor Ancam Ratusan Ribu Pengungsi Rohingya
Seorang pengungsi Rohingya menaiki tangga di perbukitan yang berada di Kamp Pengungsi Kutupalong, Bangladesh, 28 April 2018. Bangunan-bangunan pengungsian berdiri di atas tanah berlumpur yang sangat minim pepohonan. (AP Photo / A.M. Ahad)

Sementara itu, para pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh, mengecam perjanjian repatriasi antara pemerintah Myanmar dan dua badan PBB, pasca-sebagian dokumen rahasianya bocor di internet pekan lalu.

Awal Juni kemarin, UNHCR dan Program Pembangunan PBB menandatangani Nota Kesepahaman dengan pemerintah Myanmar mengenai pemulangan pengungsi ke Bangladesh.

Setelah perjanjian itu ditandatangani, PBB menyebutnya sebagai "langkah pertama dan perlu" untuk menciptakan kondisi repatriasi pengungsi yang sukarela, aman, bermartabat dan berkelanjutan dari Bangladesh.

Tetapi rincian kesepakatan itu dirahasiakan, yang kemudian memicu kecaman luas dari pengungsi Rohingya dan kelompok pemerhati HAM.

Versi rancangan kesepakatan yang bocor itu bertanggal 30 Mei, sehari sebelum perjanjian final ditandatangani. Sumber-sumber yang mengetahui masalah ini mengatakan kepada VOA, bahwa berkas tersebut sangat mirip dengan nota kesepakatan yang terakhir kali ditandatangani oleh pemerintah Myanmar. 

Namun para pengungsi tidak begitu saja mempercayai proses itu.

"Orang-orang (Rohingya) merasa sedih mengenai hal ini. Mereka khawatir dan terkejut, bahwa badan-badan PBB menandatangani kesepakatan yang sama," kata seorang pria Rohingya yang tinggal di Bangladesh.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya