29-9-1916: Sosok Kontroversial John D. Rockefeller, Miliarder Pertama dalam Sejarah?

John D. Rockefeller dijuluki sebagai miliarder pertama di AS bahkan dunia. Namun, lepas dari benar tidaknya gelar tersebut, ia adalah sosok yang menarik.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 29 Sep 2018, 06:00 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2018, 06:00 WIB
John D. Rockefeller dinobatkan jadi miliarder pertama di dunia (Wikimedia/Public Domain)
John D. Rockefeller dinobatkan jadi miliarder pertama di dunia (Wikimedia/Public Domain)

Liputan6.com, New York - Pada 29 September 1916, surat kabar di seantero Amerika Serikat mengeluarkan kabar senada: John D. Rockefeller telah melampau 'batasan ajaib', dari berstatus jutawan menjadi miliarder pertama yang tercatat dalam sejarah.

Pemicunya adalah kenaikan harga saham perusahaannya, Standard Oil Co. sehari sebelumnya. Sebanyak 247.692 saham milik Rockefeller kala itu bernilai hampir USD 499 juta.

"Digabungkan dengan kepemilikannya di sejumlah bank, perusahaan kereta api, juga obligasi -- di tingkat nasional, negara bagian, maupun kota -- membuat kekayaannya menjadi beberapa miliar dolar," demikian cuplikan pemberitaan saat itu, seperti dikutip dari situs Time.

Sejak saat itu, Rockefeller kerap dijuluki sebagai miliarder pertama di AS, bahkan satu-satunya di Negeri Paman Sam selama periode waktu yang panjang.

Hingga akhirnya, putranya, John D. Rockefeller, Jr. mengeluarkan pernyataan yang menyebut, kabar tersebut tak sesuai dengan kenyataan alias dibesar-besarkan.

Sementara, dalam buku biografi, Titan: The Life of John D. Rockefeller, Sr. yang diterbitkan pada 1998, penulisnya, Ron Chernow memperkirakan kekayaan Rockefeller memuncak di angka USD 900 juta pada 1913.

Namun, legenda yang menyebut John D. Rockefeller sebagai miliarder pertama di AS tetap bertahan hingga kini.

Di sisi lain, taktik bisnis Rockefeller yang kejam bahkan 'brutal' juga membuat ia mendapat julukan lain: 'orang paling dibenci di Amerika'.

Pada tahun-tahun terakhirnya, ia mencoba untuk menghapus citra buruk itu dengan cara memberikan sebagian besar kekayaannya untuk amal.

Rockefeller juga kerap memberikan uang koin baru pada anak-anak kecil yang ada di dekatnya.

Saat ia meninggal dunia pada 1937, di usia 97 tahun, obituari New York Times menyebutnya sebagai 'miliarder' -- dengan tanda kutip.

Jika John D. Rockefeller bukan miliarder pertama di Amerika Serikat, lalu siapa?

Sejumlah sejarawan menunjuk ke Henry Ford. Pria yang kerap dijuluki sebagai 'miliarder kedua dalam sejarah AS' itu diyakini mencapai kekayaan bernilai 10 digit pada 1925.

 

Saksikan video terkait miliarder berikut ini:

Rockefeller yang Kontradiktif

Kartun politik yang menunjukkan Standard Oil bak gurita yang meliputi apapun (Udo J. Keppler/Wikimedia Commons)
Kartun politik yang menunjukkan Standard Oil bak gurita yang meliputi apapun (Udo J. Keppler/Wikimedia Commons)

Kisah John D. Rockefeller mungkin adalah yang teraneh dari Zaman Sepuhan (Gilded Age) -- ketika apa yang ada di permukaan terlihat mengilap namun di dalamnya keropos. Kala pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rel kereta yang membentang di sana-sini, dan pameran kemewahan yang vulgar menyilaukan mata, menutupi realitas yang ada seperti kemiskinan dan perilaku korup yang merajalela.

Rockefeller adalah sosok gila kerja, yang mengumpulkan kekayaan berlimpah, namun akhirnya memberikan sejumlah besar pundi-pundi hartanya itu untuk orang lain. Ia adalah sosok kejam, namun di sisi lain, pria kelahiran 1839 itu banyak beramal di penghujung usianya.

Pria yang memulai kariernya sebagai staf tata buku pada September 1855, memutuskan untuk banting setir jadi pengusaha. Secara agresif ia kemudian membeli perusahaan-perusahaan kecil untuk mengembangkan perusahaan minyaknya. Bisnisnya menggurita. 

Pada 1870, Rockefeller menggabungkan perusahaan yang akan membuatnya tajir melintir. Dengan Standard Oil Co, ia menjalankan praktik monopoli, menjadi pelopor kapitalisme modern Amerika. "Persaingan adalah dosa," itu yang pernah diucapkan Rockefeller. 

"Kesepakatan rahasianya dengan pengelola rel kereta api memungkinkannya untuk mengirimkan barang dengan harga murah, tulis Sam Parr untuk The Hustle. Pada awal 1900-an, Standard Oil menguasai lebih dari 90 persen pasar minyak dan gas.

Pengaruh Rockefeller pada bisnis minyak bahkan masih terlihat hingga saat ini. "Meski Standard Oil dipaksa pecah menjadi beberapa perusahaan karena divonis melakukan monopoli -- BP, Exxon, ConocoPhillips, dan Chevron adalah anak-anak perusahaannya," tulis Sam Parr untuk The Hustle, seperti dikutip dari 

Praktik monopoli Standar Oil dibongkar oleh Ida Tarbell, seorang penulis, dosen, jurnalis investigasi, sekaligus putri pengusaha yang menjadi korban Rockefeller dalam bukunya, The History of the Standard Oil Company, yang merangkum artikelnya yang dipublikasikan pada 1902 hingga 1904.

Ayah Ida Tarbell bangkrut total, sementara koleganya memilih bunuh diri. 

Pada 1903, di tengah pengungkapan terkait skandal Standard Oil, Ida Tarbell melihat sang jutawan sedang duduk di sebuah peribadatan di gereja. 

"Sangat menyedihkan...orang yang melihat John Rockefeller duduk dalam sebuah pelayanan di gereja akan merasa ia adalah objek paling menyedihkan di dunia," kata dia. 

Kala itu, Rockefeller menderita alopecia  atau kerontokan rambut yang disebabkan oleh serangan sistem imunitas tubuh terhadap folikel. Bulu-bulu di tubuhnya rontok, termasuk alis. 

Meski pada masa jayanya, kekayaan Rockefeller mencapai  USD 900 juta, namun saat kematiannya, nilai itu menyusut jadi sekitar US 26 juta. "Menjadikannya sebagai filantropis terbesar sepanjang masa," tambah Sam Parr.

Selain 'penobatan' John D. Rockefeller sebagai miliarder pertama di AS, sejumlah peristiwa bersejarah terjadi pada tanggal 29 September. 

Pada 29 September 1992, Fernando Affonso Collor de Mello yang menjabat sebagai Presiden Brasil digulingkan.

Sosok de Mello tercatat sebagai presiden termuda Brasil, ia menduduki kursi orang nomor satu di Negeri Samba pada usia 40 tahun.

Sementara, pada 29 September 2004, sekelompok orang yang mengaku warga negara Korea Utara memaksa masuk Kedutaan Kanada di Beijing. Mereka ingin mendapatkan suaka politik. Di antara mereka menyamar memakai baju pekerja bangunan agar dimudahkan masuk.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya