Liputan6.com, Dhaka - Lebih dari 100 juta orang diperkirakan akan memberikan suara dalam pemilihan umum Bangladesh pada Minggu 30 Desember 2018 --di mana Perdana Menteri Sheikh Hasina sedang mencari masa jabatan ketiga berturut-turut.
Pasukan keamanan dalam siaga tinggi menjelang pemilihan, dengan sekitar 600.000 personel keamanan dikerahkan di seluruh negara. Mereka dikerahkan usai lebih dari selusin orang tewas dalam bentrokan antara pendukung partai politik saingan.
Internet seluler berkecepatan tinggi juga telah diperintahkan untuk disetop hingga setelah pemilihan, sebuah keputusan yang dibuat untuk mencegah rumor dan propaganda memicu kerusuhan, kata seorang pejabat.
Advertisement
Perdana Menteri Hasina diperkirakan akan menang, sementara saingan utamanya di penjara karena korupsi, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (30/12/2018). Meski disukai rakyatnya karena dianggap berhasil memajukan ekonomi Bangladesh dengan pesat, namun pemerintahan Hasina dituduh telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berkali-kali.
Baca Juga
Jelang pemilu telah ditandai oleh kekerasan dan penindasan atas perbedaan pendapat oleh pemerintah yang tumbuh lebih otoriter selama 10 tahun pemerintahan PM Hasina, menurut para kritikus dan oposisi.
Sheikh Hasina adalah ketua partai Liga Awami --yang telah memimpin Bangladesh sejak 2009. Dia mencari masa jabatan ketiga berturut-turut.
Ayahnya, presiden pertama negara itu Sheikh Mujibur Rahman, dianggap sebagai bapak pendiri Bangladesh merdeka. Dia dibunuh pada tahun 1975.
Selama 1990-an dan awal 2000-an, Hasina dan saingan besarnya, Khaleda Zia dari partai oposisi Bangladesh Nationalist Party (BNP), silih berganti berkuasa di Bangladesh, dengan keduanya dikenal sebagai "Battling Begums" (Begum adalah sebutan yang digunakan untuk menyebut seorang wanita Muslim berpangkat tinggi).
Tetapi, sejak 2009, Hasina terus bercokol dan dituduh memenjarakan Zia pada tahun ini, guna mencegahnya untuk ikut serta dalam pemilu.
BNP dan sekutunya juga menuduh polisi dan aktivis partai Liga Awami yang berkuasa menyerang aktivis dan kandidat mereka.
Namun, jubir kepolisian Sohel Rana membantah polisi telah menyerang aktivis oposisi, hanya mengakui bahwa "insiden terisolasi" mungkin terjadi.
Tapi, organisasi pemantau Hak Asasi Manusia, Human Rights Watch mengatakan bahwa pemerintah Bangladesh telah memulai kampanye intimidasi sebelum pemungutan suara.
"Anggota dan pendukung partai oposisi utama telah ditangkap, dibunuh, bahkan dihilangkan, menciptakan suasana ketakutan dan penindasan yang tidak konsisten dengan pemilihan yang kredibel," kata direktur Hman Rights Watch kawasan Asia, Brad Adams.
Â
Simak video pilihan berikut:
Â
Layanan Internet Ditangguhkan, Medsos Dipantau Ketat
Otoritas Bangladesh juga sangat membatasi layanan internet di seluruh negeri, sebagai upaya untuk melawan "propaganda" menjelang pemilu.
Akhir-akhir ini, layanan internet di seluruh penjuru Bangladesh menjadi lemot. Layanan 3G dan 4G ditangguhkan selama beberapa jam pada hari Kamis, 27 Desember, kata seorang pejabat Bangladesh Telecommunications Regulatory Commission atau Komisi Regulasi Telekomunikasi Bangladesh (BTRC).
"Kami meminta operator telekomunikasi untuk menghentikan layanan 3G dan 4G untuk sementara pada Kamis malam. Kami harus melakukannya untuk mencegah propaganda dan penyebaran konten yang menyesatkan (hoaks) di internet," ujar pejabat itu kepada AFP tanpa menyebut nama.
Dia menambahkan, layanan internet berkecepatan tinggi telah dibuka kembali pada Jumat pagi setelah 'mati' selama 10 jam. Kendati demikian, otoritas akan menangguhkannya lagi di kemudian hari.
Facebook mengatakan kepada Associated Press pada minggu ini bahwa pihaknya telah melumpuhkan 15 halaman yang menyebarkan berita palsu pro-Hasina menjelang pemilu.
"Facebook pun sudah menggandeng agen intelijen yang menentukan bahwa orang-orang yang membuat dan mengelola situs itu terkait dengan pemerintah", kata Nathaniel Gleicher, kepala kebijakan keamanan siber Facebook.
Sedangkan Twitter, mengklaim telah menangguhkan 15 akun di Bangladesh. Sebagian besar di antaranya memiliki pengikut (follower) kurang dari 50 akun. Akun-akun ini diduga terlibat dalam manipulasi platform.
"Berdasarkan analisis awal kami, tampaknya akun-akun tersebut memiliki keterkaitan dengan 'orang dalam pemerintahan'," kata perusahaan media sosial itu.
Advertisement