Liputan6.com, Dhaka - Masih belum banyak orang Indonesia yang berinvestasi di Bangladesh, karena negara ini identik dengan negara miskin dan tidak punya prospek ke depan. Sementara negara yang paling banyak menanamkan sahamnya di Bangladesh adalah Malaysia, Thailand, China, dan India.
"Kita sekarang juga sudah telat. Ini juga bukan kata saya, (tapi) kata teman-teman yang sudah mulai berinvestasi di sini. Tapi dari pada enggak sama sekali, lebih baik sekarang," kata Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia (Dubes LBBP RI) untuk Bangladesh merangkap Nepal, Rina Soemarno saat dijumpai di Dhaka, Bangladeesh, Kamis (22/11/2018).
Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi di Bangladesh terbilang stabil, di atas atau rata-rata, yakni 6,5%. Sedangkan akhir-akhir ini, Rina mengungkapkan bahwa nilai perdagangan Indonesia dan Bangladesh terus meningkat.
Advertisement
"Di Indonesia, Bangladesh adalah penyumbang surplus ketujuh terbesar. Pada tahun lalu, dari nilai perdagangan Indonesia dan Bangladesh berjumlah total US$ 1,67 miliar, surplus Indonesia adalah 91%," ucapnya.
Baca Juga
Ekspor paling besar Indonesia ke Bangladesh adalah Crude Palm Oil (CPO), palm oil (minyak sawit yang sudah jadi), dan clinker. Selain itu, investasi dalam proyek infrastruktur seperti sektor listrik, eskplorasi minyak mentah, gas dan mineral, telekomunikasi, pelabuhan, jalan raya, sangat terbuka di Bangladesh.
"Palm oil paling besar dari Indonesia. Nomer dua dari Malaysia. Pasar kelapa sawit Bangladesh adalah yang terbesar bagi Indonesia,"
Sebanyak kurang lebih 70% konsumsi dalam negeri di Bangladesh berasal dari impor. Sementara, sektor yang diisi oleh Indonesia masih sangat sedikit. Padahal kedua negara mempunyai kesamaan, yakni negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Indonesia sendiri merupakan mitra dagang atau negara impor terbesar kelima di Bangladesh, namun market share Indonesia masih menjumpai sejumlah kendala.
"Tantangan bagi Indonesia, misalnya, dari segi konektivitas. Indonesia, mau tak mau, terkadang masih harus menggunakan 'negara ketiga' untuk memasok barang ekspor ke Bangladesh," papar dubes wanita pertama Indonesia untuk Bangladesh itu.
Sebab, menurut Rina, belum ada transportasi jalur udara dan laut yang secara langsung menghubungkan Indonesia dan Bangladesh. Di samping itu, market share Indonesia di Bangladesh jumlahnya juga masih sedikit, yakni 3,5%.
"Dalam hal ini, tentunya (negara) paling banyak adalah Singapura. Untuk itulah, mengapa market share Singapura masih lebih tinggi dibanding Indonesia. Tapi kami duga, masih banyak barang dari Indonesia," Rina mennyampaikan.
Oleh karenanya, dua negara ini telah mengupayakan sejumlah usaha untuk membuka penerbangan langsung, yang pada tahun lalu telah ditingkatkan. Namun prosesnya masih 'digodog' hingga kini, karena segala sesuatunya harus diperhitungkan dengan teliti dan cermat.
Bangladesh merupakan negara yang sudah masuk dalam lower middle economy country. Namun berdasarkan tataran yang dilakukan oleh PBB dan World Bank (Bank Dunia), Bangladesh sudah masuk dalam list develop country.
"Sehingga masih mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam bentuk juty free (bebeas pajak), quota free (bebas kuota) dan lain sebagainya," pungkas Rina.
Saksikan video pilihan berikut ini: