Kisah 4 Eks Napi yang Bebas dari Bui dan Sukses Mengambil Alih Kekuasaan

Inilah kisah para tokoh ternama di dunia yang sebelumnya pernah mendekam di balik jeruji besi.

oleh Afra Augesti diperbarui 24 Jan 2019, 16:00 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2019, 16:00 WIB
10-5-1994: Sah... Nelson Mandela Presiden Afrika Selatan
Nelson Mandela. (Wikipedia)

Liputan6.com, Mvezo - Anwar Ibrahim, figur oposisi top dan pemimpin de facto People's Justice Party atau Parti Keadilan Rakyat (PKR), telah berstatus bebas dari penjara setelah menerima pengampunan dari Raja Malaysia pada Rabu, 16 Mei 2018.

Mantan wakil perdana menteri Malaysia di era Mahathir Mohamad ini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sungai Buloh sejak Februari 2015, usai menerima vonis 5 tahun penjara atas kasus sodomi terhadap eks asisten pribadinya.

Kala itu, kasus tersebut dinilai sarat kontroversi. Beberapa pihak menyebutnya sebagai 'peristiwa yang dibuat-buat' guna mendiskreditkan Anwar Ibrahim dalam kancah perpolitikan Malaysia.

Lalu, pada Senin 15 Oktober 2018, Anwar Ibrahim sah dilantik menjadi Anggota Parlemen Malaysia. Pelantikan itu dilakukan tepat dua hari setelah dirinya berhasil memenangi pemilu sela (pemilu yang digelar untuk mengisi kekosongan kursi) untuk menjadi Anggota Parlemen nasional, mewakili wilayah konstituensi Port Dickson, Negeri Sambilan, pada 13 Oktober 2018.

Sementara itu, hal serupa juga pernah menimpa Sukarno, Sang Proklamator Tanah Air. Presiden pertama Republik Indonesia ini pernah merasakan dinginnya dinding penjara pada masa pergerakan nasional.

Waktu itu, untuk pertama kalinya, Sukarno menjadi terkenal ketika ia menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya pada tahun 1915. Lantas, pada tahun 1926, presiden ke-1 Indonesia ini mendirikan Algemeene Studie Club (ASC) di Bandung yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo.

Organisasi tersebut adalah cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas pria bernama lengkap Koesno Sosrodihardjo itu di PNI menyebabkan penangkapan terhadap dirinya oleh Belanda pada 29 Desember 1929 di Yogyakarta. Kemudian esok harinya, ia dipindahkan ke Bandung untuk dijebloskan ke penjara Banceuy.

Lalu, pada tahun 1930, ia dipindahkan ke Sukamiskin dan di sidang di Pengadilan Landraad Bandung pada 18 Desember 1930. Selama mendekam di balik jeruji besi, ia Soekarno menyusun dan menulis sendiri pidato (yang juga menjadi pledoi-nya): Indonesia Menggugat.

Alasan pembuatan naskah itu karena Soekarno bersama tiga rekannya, yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata --yang tergabung dalam PNI-- dituduh hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda.

Isi dari Indonesia Menggugat adalah tentang keadaan politik internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajah. 

Soekarno baru bisa menghirup udara bebas pada 31 Desember 1931. Ia dilantik menjadi presiden pada 17 Agustus 1945. Masa jabatannya berlaku sejak 18 Agustus 1945 hingga 12 Maret 1967.

Tak hanya Soekarno dan Anwar Ibrahim saja yang pernah menjalani hukuman penjara. Ada 4 tokoh tersohor di dunia yang sebelumnya juga sempat dibui. Setelah mereka bebas, mantan narapidana ini seolah muncul dari penjara untuk mengambil alih kekuasaan.

Berikut di antaranya, seperti dikutip dari situs The South African, Kamis (24/1/2019).

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

1. Nelson Mandela

Nelson Mandela (© AFP 2010)
Mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela saat meninggalkan kediaman presiden di Genadendal, Cape Town, 12 Februari 2010. AFP PHOTO/ GCIS/ HO/ Elmond Jiyane

"No power on earth can stop an oppressed people determined to win their freedom", revolusioner antiapartheid Nelson Mandela pada Juni 1961, sebelum ia dihukum karena memimpin perjuangan bersenjata atas hak-hak 'Orang Kulit Hitam' di Afrika Selatan.

Kurang lebih artinya: "Tidak ada kekuatan di muka Bumi yang dapat menghentikan tekad orang-orang tertindas yang ingin memenangkan kebebasan mereka."

Mandela, yang menjadi Orang Nomer Satu di Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999, pernah bolak-balik keluar-masuk penjara.

1. Penangkapan dan Pengadilan Rivonia (1962–1964)

Polisi menangkap Mandela dan Cecil Williams di dekat Howick pada 5 Agustus 1962. Ia ditahan di Marshall Square, Johannesburg  dengan dituduh menghasut mogok buruh dan ke luar negeri tanpa izin.

Setelah dipindahkan ke Pretoria, Mandela mulai mengambil studi korespondensi untuk mendapatkan gelar Bachelor of Laws (LLB) di University of London dari dalam selnya.

Sidang dengar pendapatnya dimulai tanggal 15 Oktober 1962, tetapi ia mengganggu jalannya sidang dengan mengenakan kaross (jubah yang terbuat dari kulit domba, atau kulit binatang lain, dengan bulu masih menempel yang umum dikenakan oleh orang-orang Khoikhoi dan Bushmen atau San Afrika Selatan), menolak memanggil saksi mata, dan mengganti permohonan keringanannya menjadi pidato politik.

Ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dihukum lima tahun penjara.

Lalu, pada 9 Oktober 1963, sidang pengadilan Rivonia diselenggarakan di Mahkamah Agung Pretoria. Mandela dan rekan-rekannya dituduh empat kali melakukan sabotase dan konspirasi untuk menggulingkan pemerintah. Di sana, Mandela dan terdakwa lainnya mengaku melakukan sabotase, namun menolak pernah sepakat melancarkan perang gerilya terhadap pemerintah.

Pengadilan ini mendapat perhatian internasional. Banyak pihak di seluruh dunia meminta pembebasan para terdakwa, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan World Peace Council. Sedangkan University of London Union menyerukan agar Mandela menjadi presiden Afrika Selatan.

Lantaran dianggap penyerobot komunis, pemerintah Afrika Selatan mengabaikan tuntutan-tuntutan tersebut. Pada 12 Juni 1964, de Wet menetapkan empat tuduhan kepada Mandela dan dua terdakwa. Mereka menjatuhkan vonis penjara seumur hidup, bukan hukuman mati.

2. Pulau Robben (1962–1982)

Mandela dan terdakwa lainnya dipindahkan dari Pretoria ke penjara di Pulau Robben. Ia dikurung di sana sampai 18 tahun selanjutnya. Terisolasi dari tahanan-tahanan non-politik di Section B, Mandela dikurung di sel beton lembap nan sempit berukuran 2,4 meter X 2,1 meter, plus tikar jerami untuk tidur.

Konon, ia sering ditindas secara verbal dan fisik oleh penjaga berkulit putih. Ia dan para tahanan pindahan dari Pengadilan Rivonia menghabiskan waktu dengan memecah batu, sampai akhirnya dipindahtugaskan ke tambang batu kapur pada Januari 1965. Mandela awalnya dilarang memakai kacamata, sehingga sinar batu kapur tersebut merusak penglihatannya secara permanen.

Selain itu, ia juga dilarang belajar untuk mendapatkan gelar LLB-nya. Ia juga tidak diperkenankan untuk membaca surat kabar. Beberapa kali, Mandela sempat ditahan di kurungan soliter akibat menyelundupkan kliping berita. Dengan level tahanan terendah, Kelas D, Mandela hanya boleh dijenguk sekali dan mengirim sepucuk surat saja setiap enam bulan, walaupun semua surat yang keluar masuk disensor besar-besaran.

Pada Maret 1980, slogan "Free Mandela!" dicetuskan oleh jurnalis Percy Qoboza dan mengawali kampanye internasional yang memaksa Dewan Keamanan PBB menuntut pembebasannya.

3. Penjara Pollsmoor (1982–1988)

Bulan April 1982, Mandela ditransfer ke penjara Pollsmoor di Tokai, Cape Town bersama sejumlah peabat senior. Kala itu ia yakin sedang diisolasi demi menghapus pengaruh mereka terhadap aktivis-aktivis muda. Kondisi di Pollsmoor lebih baik ketimbang Pulau Robben, tetapi Mandela justru merasa rindu camaraderie dan pemandangan indah di Pulau Robben.

4. Penjara Victor Verster dan Pembebasan (1988–1990)

Sepulihnya dari tuberkulosis yang disebabkan kondisi sel yang lembap, Mandela dipindahkan ke penjara Victor Verster dekat Paarl pada Desember 1988. Di sini, ia tinggal di rumah sipir yang lebih nyaman dengan koki pribadi. Mandela pun memanfaatkannya untuk menyelesaikan studi LLB-nya.

Ia resmi bebas pada 11 Februari 1990 dan empat tahun kemudian, pada usia 75 tahun, Mandela terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan --melalui pemilu multiras perdana di negara ini.

2. Jawaharlal Nehru

Presiden Sukarno dan PM India Jawaharlal Nehru di Borobudur
Presiden Sukarno dan PM India Jawaharlal Nehru di Borobudur (Wikipedia/Tropenmuseum)

Jawaharlal Nehru merupakan salah satu pemimpin berpengaruh selama masa pergerakan kemerdekaan India. Ia pun disebut-sebut sebagai penerus politik Mahatma Gandhi.

Nehru menjadi perdana menteri pertama setelah India meraih kemerdekaan pada 15 Agustus 1947, melakukan reformasi ekonomi dan pendidikan yang membuatnya dihormati.

Ia pun dikenal sebagai pemimpin yang netral dalam kebijakan luar negeri. 

Nehru mulai menunjukkan ketertarikan pada dunia politik ketika masih remaja. Ia menghadiri Indian National Congress (INC) di Patna pada 1912. Di kongres ini, ia sempat meragukan dampak yang bisa diberikan oleh INC dalam menyikapi politik di Negeri Taj Mahal itu.

Namun, ia kemudian sepakat untuk membantu INC dalam mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat India di Afrika Selatan. Di bawah kendali Mahatma Gandhi, Nehru menggalang donasi untuk kepentingan kampanye perjuangan hak-hak sipil di 1913.

Di masa akhir Perang Dunia I, Nehru bergabung dengan All India Home Rule League, yakni sebuah organissi yang menginginkan pemerintahan mandiri di bawah Kerajaan Inggris. Pada periode tersebut, terjadi gelombang pergerakan politik dan aksi represi pemerintah yang memuncak, dengan Pembantaian Amritsar pada April 1919.

Kala itu, tentara Inggris menembak ke arah kerumunan warga India yang tengah memprotes pengesahan undang-undang untuk menahan lawan politik. Dari laporan yang terkonfirmasi, diketahui 379 rakyat India tewas dan sekitar 1.200 orang mengalami luka-luka.

Kerusuhan itu membuat Nehru berubah pikiran dan berbalik mendukung aksi yang menginginkan kemerdekaan penuh bagi India.

Aksi politik pertama Nehru terjadi pada 1920-1922 melalui pergerakan non-kooperasi. Ia kemudian dipenjara karena dianggap menentang pemerintah kolonial Inggris.

Selama 24 tahun berikutnya, setidaknya Nehru menghuni sel tahanan sebanyak delapan kali, dengan total durasi penahanan sembilan tahun.

Saat berada di balik bui, Nehru justru tak merasa takut atau sedih. Ia justru menggambarkan pemenjaraannya sebagai "kesenangan terbesar", sebab penentangannya terhadap pemerintahan kolonial bisa tersalurkan.

Nehru harus menghabiskan hampir satu dekade di balik jeruji besi pada berbagai tuduhan. Paling sering adalah sebagai akibat dari keterlibatannya dengan kampanye pembangkangan sipil sekutu politik Mahatma Gandhi.

Ia terpilih sebagai perdana menteri pertama India pada 15 Agustus 1947 hingga 27 Mei 1964.

3. Vaclav Havel

Vaclav Havel
Vaclav Havel menjawab pertanyaan tentang protes anti-pemerintah di Mesir, Afrika Utara dan Timur Tengah selama wawancara dengan The Associated Press. (Foto AP)

Vaclav Havel adalah Presiden Republik Ceko yang pertama, yang menjabat sejak 2 Februari 1993 sampai 2 Februari 2003. Ia juga merupakan dramawan yang dikenal, di masa mudanya, karena gaya hidup yang gemar berfoya-foya.

Tema sentral dalam karya-karyanya adalah pengasingan sosial. Kepengarangannya penuh dengan kritik terhadap sistem komunis yang totaliter, akibatnya ia dipaksa keluar dari dunia teater sehingga ia memulai karier politiknya.

Havel masuk dalam "daftar hitam" atau black list dari banyak teater dan menjalani hukuman penjara, sebelum naik ke kursi kepresidenan dalam "Revolusi Velvet" yang menggulingkan rezim komunis sklerotik negara itu.

Dengan kecintaan pada musik barat, salah satu aksi Havel pertama di kantor adalah mengundang musisi legendaris Frank Zappa dan grup musik ternama Inggris, The Rolling Stones, untuk "manggung" di Praha. Kedua tindakan itu sebenarnya dilarang di bawah rezim pemerintahan sebelumnya.

4. Michelle Bachelet

20170512-Presiden Jokowi Sambut Kedatangan Presiden Chile-AFP
Presiden Jokowi dan Presiden Republik Chile, Michelle Bachelet bincang santai di beranda belakang Istana Merdeka, Jumat (12/5). Presiden Chile berkunjung ke Indonesia untuk membahas penguatan kerja sama bilateral Indonesia - Chile. (Bay ISMOYO/AFP)

Michelle Bachelet adalah presiden perempuan pertama Chile yang menjabat dua periode berturut-turut, terhitung dari 11 Maret 2006 sampai  11 Maret 2010 dan terpilih kembali sejak 11 Maret 2014 hingga 11 Maret 2018.

Dia diperkenalkan ke dunia politik oleh ayahnya, yang merupakan seorang mantan pejabat pemerintah yang meninggal setelah disiksa di tahanan setelah kudeta militer tahun 1973.

Bachelet sendiri kemudian ditangkap dan menjadi sasaran penyiksaan karena aktivitas politik klandestinnya sendiri. Dia diasingkan ke Australia dan Jerman Timur, sebelum kembali berkampanye untuk pemulihan demokrasi Chile.

Bachelet menghadapi Sebastian Pinera dalam pemilu putaran kedua pada 15 Januari 2006 dan memenanginya. Dengan demikian, Bachelet merupakan perempuan kedua yang terpilih sebagai pemimpin di Amerika Selatan setelah Janet Jagan dari Guyana, dan ketiga di Amerika Latin setelah Violeta Chamorro dari Nikaragua dan Mireya Moscoso dari Panama.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya