Liputan6.com, California - Pada era pengembangan STEM (science, technology, engineering, mathematics) saat ini, manusia di negara-negara maju bercita-cita ingin menjadi ras angkasa luar dan membentuk koloni di Bulan.
Namun, angan-angan tersebut masih jauh dari kenyataan dan pencapaian nyata. Hanya sebatas fiksi ilmiah. Tetapi apakah visi ini selaras dengan fakta? Apakah suatu hari, Bulan akan menjadi rumah kedua manusia? Jika demikian, berapa banyak orang yang bisa hidup di lanskap yang tidak ramah itu?
Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan tersebut, yang pertama, adalah dengan mempertimbangkan area Bulan. Luas permukaan Bulan adalah sekitar 15,9% dari luas daratan Bumi secara keseluruhan (tidak termasuk wilayah Bumi yang ditutupi oleh lautan).
Advertisement
Baca Juga
Secara teknis, jika kita mengemas daerah itu ke dalam kepadatan kota-kota yang penuh sesak di Bumi, kita akan dapat menyesuaikan triliunan di permukaan Bulan. Demikian menurut artikel yang ditayangkan di Live Science, dikutip pada Rabu (2/10/2019).Â
Akan tetapi, jumlah orang yang bisa masuk ke permukaan Bulan adalah persoalan yang sangat berbeda dari jumlah orang yang dapat dukung secara berkelanjutan. Dalam hal ini, Bulan adalah sepupu Bumi yang 'miskin' zat-zat dan unsur pendukung kehidupan.
"Bulan merupakan tempat yang cukup tandus," kata Darby Dyar, seorang ilmuwan senior di Planetary Science Institute di Arizona dan seorang profesor astronomi di Mount Holyoke College di Massachusetts.
"Setiap spesies berusaha memperluas ceruk ekologisnya. Tetapi 'ceruk' yang baru, yaitu Bulan, sangat tidak ramah bagi manusia," imbuh Dyar kepada Live Science.
Udara Untuk Bernafas
Tidak seperti di Bumi, air tidak tersedia secara bebas di permukaan Bulan. Bulan juga tidak memiliki atmosfer dengan oksigen yang membuat manusia bisa bernapas.
Satelit Bumi itu pun tidak punya ekosistem yang dapat dengan mudah mendukung bidang pertanian, rentan terhadap badai matahari, erupsi dari permukaan matahari yang mengirimkan radiasi elektromagnetik -- Bulan tidak punya perlindungan berupa medan magnet yang mampu membelokkan paparan tersebut.
"Selain itu, suhu di Bulan sangat ekstrem dan ada periode kegelapan, cahaya yang masuk berganti-ganti," Dyar menjelaskan lagi.
Semua ini dapat membuat kehidupan di Bulan tampak mustahil. Faktanya, hal-hal penting bagi keberadaan manusia -- udara, air, makanan, dan tempat berlindung -- secara teoritis tidak mungkin ada di Bulan seperti yang mereka harapkan.
Ambil contoh soal udara. Untuk mendukung populasi awal ratusan orang di Bulan, ilmuwan harus memulainya dengan mengangkut udara ke permukaan Bulan, memompanya ke dalam struktur tertutup di mana manusia akan hidup.
Meski tampaknya tidak berkelanjutan, tetapi cara itu bisa dilakukan dalam jangka pendek -- di samping hemat biaya, menurut Markus Landgraf, manajer proyek Bulan di Badan Antariksa Eropa (ESA).
"Kita tidak perlu membuat udara di Bulan. Kita bisa membawanya (dari Bumi)," klaim Landgraf. "Biaya transportasi untuk itu masih bisa dikelola."
Namun, jika populasi manusia tumbuh hingga puluhan ribu, maka ilmuwan perlu mensintesis oksigen di Bulan dan proses produksinya mahal. Landgraf menambahkan, pertumbuhan eksplorasi ruang angkasa dalam beberapa dekade mendatang dapat membuat prosesnya lebih ekonomis.
"Menggerakkan pesawat ruang angkasa membutuhkan oksigen, jadi jika permintaan naik, lebih masuk akal secara ekonomi untuk membangun generator oksigen di Bulan untuk propelan roket, daripada untuk air minum dan udara untuk manusia," Landgraf menutup.
Advertisement
Bagaimana Dengan Air?
Sampai beberapa dekade yang lalu, para peneliti percaya bahwa udara di Bulan amat kering. Namun kini mereka tahu ada sejumlah cairan yang tersebar di permukaan Bulan.
"Kami pikir, air tersisa dari saat Bulan terbentuk dan kita tahu bahwa komet, yang pada dasarnya adalah bola salju kotor, secara berkala berdampak pada permukaan Bulan," Dyar memaparkan.
"Ada bukti bagus untuk menunjukkan (kawah) tempat komet berdampak pada permukaan Bulan masih memiliki reservoir (danau atau waduk yang digunakan untuk menyimpan air) es di dalamnya."
Sumber air lain, katanya, datang bersamaan dalam angin matahari yang meraung melintasi angkasa, yang mana berisi proton, lalu bertabrakan dengan elektron di Bulan dan membentuk hidrogen.
Semua ini menambah jumlah air Bulan yang layak dikonsumsi, mungkin cukup untuk mendukung populasi yang cukup besar.
"Kami sudah mengembangkan teknologi di Stasiun Angkasa Luar Internasional untuk mendaur ulang air yang dapat diminum dari air sulingan, air seni, dan keringat astronaut, bahkan dari uap air hasil embusan napas. Di Bulan, teknologi semacam itu mampu menciptakan sumber air tertutup bagi penghuninya," imbuh Dyar.
Sayangnya, mendaur ulang air secara berulang-ulang dikatakan memiliki kerugian. Karena itulah, cadangan perlu diisi sekali-sekali. Terlebih lagi, mengekstraksi air Bulan dengan menghancurkan batuan di sana dan mengeruk es dari kawah yang dalam, membutuhkan energi yang sangat besar dan mahal.
"Kolonisasi Bulan akan tergantung pada kita yang membawa hidrogen ke sana. Pengangkutan itu sekitar 220.000 dolar AS per kilogram," sebut Landgraf.
Adapun untuk pertanian, manusia bisa meniru kondisi di Bumi. Dipelihara oleh serangan sinar matahari yang panjang dan disiram dengan air daur ulang, pertanian Bulan mungkin dapat ditingkatkan untuk memberi makan ribuan orang.
"Sudah ada banyak penelitian yang menunjukkan menanam tanaman di angkasa luar berhasil," pungkas Dyar.