Liputan6.com, Tibet - Seorang mantan biksu Buddha Tibet tewas setelah membakar diri sebagai protes atas penindasan yang dilakukan oleh China.
Yonten (24 tahun), yang tadinya biksu di Biara Kirti di Provinsi Sichuan di China, melakukan aksi bakar diri pada Selasa 26 November 2019, kata seorang pejabat Tibet, Kanyag Tsering, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (29/11/2019).
Advertisement
Baca Juga
Tsering menjelaskan, pemerintah China telah memberlakukan peraturan ketat di kawasan itu, termasuk penggunaan telepon seluler, memperlambat pengumpulan dan penyebaran informasi tentang aksi bunuh diri itu.
"Kami tidak punya informasi apakah jasad Yonten sudah diserahkan kepada keluarganya atau belum, karena semua saluran komunikasi diblokir pemerintah, kata pernyataan yang dikeluarkan biara itu," katanya.
Dalam sepuluh tahun terakhir, di Tibet telah terjadi 156 kasus bakar diri, 44 di antaranya terjadi di dekat Biara Kirti, tambah pernyataan itu.
China mengatakan telah berusaha untuk mempermodern masyarakat Tibet sejak "membebaskan" mereka dalam tahun 1950.
Simak video pilihan berikut:
AS: China Sengaja Menghambat Akses ke Tibet Secara Sistematis
Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengatakan dalam sebuah laporan, bahwa China "secara sistematis" menghambat akses dunia internasional ke Tibet, dengan membatasi dan bahkan melarang para diplomat, jurnalis, dan warga negara biasa datang berkunjung.
Kementerian Luar Negeri AS mendokumentasikan masalah akses ke wilayah Himalaya itu dalam sebuah laporan untuk Kongres, yang merupakan bagian dari amanat rancangan Akses Timbal-Balik ke Undang-Undang Tibet.
Dikutip dari Channel News Asia pada Selasa (26/3/2029), rancangan undang-undang tersebut disahkan dengan dukungan kedua kubu politik AS pada Desember lalu.
Undang-undang itu mengharuskan Amerika Serikat pada akhir tahun ini, menolak visa pejabat China yang bertanggungjawab atas implementasi hambatan sistematis terhadap akses menuju Tibet.
"Pemerintah China secara sistematis menghambat akses menuju Daerah Otonomi Tibet (TAR), dan juga daerah Tibet di luar TAR, yang berlaku bagi diplomat dan pejabat AS, wartawan dan turis sejak 2018," kata laporan itu kepada Kongres.
Bahkan kunjungan para diplomat AS "sangat dibatasi" di China, katanya.
"Orang-orang yang ditunjuk pemerintah China mengikuti diplomat dan pejabat AS setiap saat, mencegah mereka bertemu atau berbicara dengan kontak lokal, menginterogasi mereka dan membatasi gerak mereka di daerah-daerah ini," katanya.
Tibet adalah satu-satunya wilayah di China yang mengharuskan para diplomat dan jurnalis memiliki akses khusus untuk datang berkunjung.
Kemlu AS mengatakan bahwa China tahun lalu menolak lima dari sembilan permintaan Washington untuk mengunjungi Tibet, termasuk salah satunya oleh Duta Besar Terry Branstad.
Mengutip Klub Koresponden Asing China, Kemlu AS juga menyebut tujuh jurnalis internasional yang mengajukan izin berkunjung ke Tibet pada tahun lalu, mengalami penolakan setelah melalui proses pendaftaran yang sangat menyita waktu.
Laporan itu juga menyebut bahwa China menolak akses turis ke Tibet selama waktu yang dianggapi sensitif secara politik.
Selain itu, warga negara AS keturunan Tibet yang datang berkunjung juga disebut harus menonton pemutaran film khusus oleh otoritas China, yang menurut Washington, berisi propaganda.
Matteo Mecacci, presiden Kampanye Internasional untuk Tibet, yang mendukung pengesahan RUU terkait, menyambut baik laporan Kemlu AS sebagai tanda bahwa Washington "serius membahas akses timbal balik ke Tibet".
"Saya pikir itu menunjukkan bahwa hubungan timbal balik dengan China adalah prinsip yang penting, tidak hanya untuk masalah perdagangan atau ekonomi, tetapi juga untuk akses ke Tibet," kata Mecacci, mantan anggota parlemen Italia.
"Tujuan RUU itu bukan untuk menghalangi pejabat China datang ke AS, namun ini bertujuan mengakhiri isolasi Tibet," lanjutnya.
Advertisement