Liputan6.com, Bamako - Setidaknya 21 orang telah dilaporkan tewas atau hilang setelah serangan terhadap sebuah desa di Mali tengah. Tahun lalu, area itu merupakan lokasi pembantaian sipil terburuk di negara itu dalam beberapa tahun terakhir.
Dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (15/2/2020), pemerintah Mali mengatakan orang-orang bersenjata membakar rumah-rumah dan menjarah ternak di Desa Ogossagou, sebuah desa penggembala Fulani di wilayah Mopti tengah, selama serangan Jumat pagi waktu setempat.
Pernyataan pemerintah tidak mengatakan siapa yang melakukan serangan itu.
Advertisement
Hamadou Dicko dari asosiasi Fulani, Tabital Pulaaku, menyebutkan jumlah korban minimum 21 orang.
"Mereka datang dan menembak semua yang bergerak," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Serangan Maret Lalu
Dalam serangan terhadap Ogossagou Maret lalu, tersangka militan dari kelompok saingan menewaskan lebih dari 150 warga sipil. Serangan ini kemudian menjadi bagian dari peningkatan kekerasan etnis di wilayah Sahel yang luas di Afrika Barat.
Pejabat Mali mengatakan mereka mencurigai Dan Na Ambassagou, kelompok etnik Dogon yang melakukan pembantaian tahun lalu di Ogossagou. Namun, grup tersebut menolak bertanggung jawab.
Moulaye Guindo, wali kota kota terdekat Bankass, dan pejabat lokal lainnya, yang menolak disebutkan namanya, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa Ogossagou diserang pada hari Jumat kurang dari 24 jam setelah pasukan Mali yang ditempatkan di dekat Ogossagou meninggalkan markasnya
Seorang juru bicara militer mengatakan bahwa pasukan tentara telah dikerahkan untuk menanggapi serangan itu tetapi menolak berkomentar apakah mereka sebelumnya telah meninggalkan pangkalan setempat.
Kelompok misi PBB di Mali mengatakan akan mengirim pasukan reaksi cepat ke desa, di mana beberapa juga terluka. Mereka juga memberikan dukungan udara untuk mencegah serangan lebih lanjut dan mengevakuasi yang terluka, katanya.
Mahamat Saleh Annadif, kepala misi PBB di Mali, mengatakan dia terkejut sekaligus marah dengan terjadinya serangan itu.
"Ada kebutuhan mendesak untuk memecah spiral kekerasan di wilayah ini," katanya.
Penduduk Mali Tengah telah mengkritik tentara karena gagal melindungi mereka terhadap kekerasan yang telah membuat 200.000 orang kehilangan tempat tinggal dan meninggalkan banyak komunitas tanpa pemerintah daerah atau sarana pertahanan.
Lebih dari 450 warga sipil tewas di Mali tengah tahun lalu oleh kelompok-kelompok bersenjata, menjadikannya tahun paling mematikan di kawasan itu sejak krisis negara itu dimulai pada 2012, menurut Human Rights Watch.
Bentrokan etnis terus berlanjut dan dieksploitasi oleh kelompok-kelompok bersenjata yang bersekutu dengan Al Qaeda dan ISIL (atau ISIS) yang telah merekrut orang-orang dari kelompok etnis Peuhl atau Fulani.
Kelompok-kelompok bersenjata Dogon juga muncul dan dituduh mendukung tindakan keras militer Mali terhadap kelompok-kelompok bersenjata itu.
Konflik itu telah merenggut ribuan nyawa dan menyebar ke negara tetangga, Niger dan Burkina Faso.
Advertisement