Liputan6.com, Roma - Iran dan Amerika Serikat (AS) berencana bertemu lagi pekan depan untuk membahas program nuklir Iran yang berkembang pesat, setelah kedua belah pihak menyatakan ada kemajuan dalam pembicaraan mereka Sabtu (19/4/2025) di Roma, Italia.
Seorang pejabat AS mengonfirmasi bahwa pada suatu titik selama negosiasi di Roma, utusan khusus Presiden Donald Trump, Steve Witkoff, dan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi berbicara secara langsung.
Advertisement
Baca Juga
Sebelum bertemu lagi di Oman pada 26 April, Araghchi mengatakan bahwa pembicaraan di tingkat teknis akan digelar dalam beberapa hari ke depan. Diskusi para ahli tentang detail kemungkinan kesepakatan menunjukkan adanya perkembangan dalam negosiasi, di saat Trump mendorong tercapainya kesepakatan cepat sambil mengancam akan mengambil tindakan militer terhadap Iran.
Advertisement
Menurut seorang pejabat senior pemerintahan Trump yang berbicara secara anonim karena membahas pertemuan diplomatik tertutup, kedua pihak mencapai kemajuan sangat baik dalam diskusi langsung dan tidak langsung.
Dalam unggahan di platform media sosial X, Araghchi juga menyatakan bahwa mereka membuat "kemajuan dalam prinsip dan tujuan kemungkinan kesepakatan." Namun, dia menambahkan, "optimisme mungkin dibenarkan, namun dengan sangat berhati-hati."
Sebelumnya, dia mengatakan kepada televisi pemerintah Iran seperti dikutip dari AP, "Saya berharap kita akan berada dalam posisi lebih baik setelah pembicaraan teknis."
Sementara AS menyatakan bahwa diskusi langsung dan tidak langsung dilakukan, pejabat Iran menggambarkannya sebagai tidak langsung, seperti pembicaraan pekan lalu di Muskat, Oman, dengan Menteri Luar Negeri Oman Badr al-Busaidi menjadi perantara di ruang terpisah.
"Pembicaraan ini semakin bergerak maju dan sekarang bahkan yang tidak mungkin pun menjadi mungkin," kata al-Busaidi di X.
Dalam unggahan terpisah, Kementerian Luar Negeri Oman menyatakan kedua pihak setuju untuk terus berunding guna mencapai kesepakatan yang memastikan Iran "sepenuhnya bebas dari senjata nuklir dan sanksi sekaligus mempertahankan kemampuannya mengembangkan energi nuklir untuk perdamaian."
Fakta bahwa pembicaraan ini bahkan terjadi merupakan momen bersejarah, mengingat permusuhan puluhan tahun antara kedua negara sejak Revolusi Islam 1979 dan krisis penyanderaan Kedutaan AS. Trump, pada masa jabatan pertamanya, secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran dengan kekuatan dunia pada 2018, memicu serangkaian serangan dan negosiasi yang gagal mengembalikan kesepakatan yang membatasi pengayaan uranium Tehran secara drastis sebagai imbalan pencabutan sanksi ekonomi.
Ada Keterlibatan Israel?
Yang dipertaruhkan adalah kemungkinan serangan militer AS atau Israel terhadap situs nuklir Iran atau Iran mewujudkan ancamannya untuk mengembangkan senjata atom. Sementara itu, ketegangan di Timur Tengah memuncak karena perang Israel-Hamas di Jalur Gaza dan setelah serangan udara AS yang menargetkan pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman menewaskan lebih dari 70 orang dan melukai puluhan lainnya.
"Saya ingin menghentikan Iran, sangat sederhana, dari memiliki senjata nuklir," ujar Trump Jumat lalu. "Saya ingin Iran menjadi besar, makmur, dan hebat."
Menurut seorang sumber yang mengenal pertemuan tersebut dan berbicara secara anonim untuk membagikan detail yang tidak dipublikasikan, sebelum pembicaraan dengan Iran dimulai, Witkoff bertemu dengan kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Mariano Grossi di Roma.
Lembaga pengawas nuklir PBB itu kemungkinan akan menjadi kunci dalam memverifikasi kepatuhan Iran jika kesepakatan tercapai, seperti yang terjadi pada kesepakatan 2015 antara Iran dan kekuatan dunia.
Dalam serangkaian pertemuan, Grossi juga bertemu dengan Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani, yang berbicara dengan Araghchi sebelum pembicaraan AS-Iran.
"Kesepakatan diplomatik dibangun dengan sabar, hari demi hari, melalui dialog dan saling menghormati," kata Tajani.
Witkoff sebelumnya berada di Paris untuk membahas Ukraina seiring berlanjutnya perang di sana. Di ibu kota Prancis, dia juga bertemu dengan Menteri Urusan Strategis Israel Ron Dermer dan kepala Mossad David Barnea.
Dermer berada di Roma pada Sabtu dan terlihat di hotel yang sama dengan Witkoff. Tidak jelas apakah ini kebetulan, dan tidak ada indikasi bahwa Dermer terlibat dalam pembicaraan dengan Iran.
Sementara itu, Araghchi beberapa hari terakhir mengunjungi Moskow dan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Rusia, salah satu kekuatan dunia yang terlibat dalam kesepakatan nuklir Iran 2015, bisa menjadi peserta kunci dalam kesepakatan masa depan antara Tehran dan Washington. Para analis menilai bahwa Rusia mungkin bisa mengambil alih penyimpanan uranium Iran yang telah diperkaya hingga kemurnian 60 persen — yang secara teknis hanya selangkah lagi menuju tingkat kemurnian 90 persen, tingkat yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir.
Ibu kota Oman menjadi tuan rumah putaran pertama negosiasi pekan lalu, di mana Araghchi dan Witkoff bertatap muka setelah pembicaraan tidak langsung. Oman, sebuah kesultanan di ujung timur Jazirah Arab, lama menjadi penengah antara Iran dan Barat.
Namun, sebelum pembicaraan, Iran menyoroti komentar Witkoff yang awalnya menyebut Iran bisa memperkaya uranium pada 3,67 persen, lalu kemudian mengatakan semua pengayaan harus dihentikan.
Ali Shamkhani, penasihat Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei, menulis di X sebelum pembicaraan berlangsung bahwa Iran tidak akan dapat melepas program pengayaannya seperti Libya atau setuju menggunakan uranium yang diperkaya di luar negeri untuk program nuklirnya.
"Iran datang untuk kesepakatan yang seimbang, bukan menyerah," tulisnya.
Advertisement
Incar Kestabilan Ekonomi
Di tengah ketegangan domestik, Iran masih menghadapi gejolak politik terkait penegakan aturan hijab, di mana banyak perempuan di Tehran secara terbuka mengabaikan kewajiban tersebut. Selain itu, isu kenaikan harga bensin bersubsidi—yang pernah memicu gelombang protes nasional—kembali mencuat dan memantik kekhawatiran publik.
Di bidang ekonomi, nilai tukar rial Iran sempat merosot hingga menyentuh level 1 juta rial per dolar AS awal bulan ini. Namun, mata uang tersebut mulai menunjukkan pemulihan seiring dengan progres pembicaraan nuklir, sebuah tren yang sangat diharapkan oleh pemerintah Iran untuk terus berlanjut.
Dalam perkembangan terpisah, Iran Air —maskapai nasional Iran— akhirnya berhasil memperoleh dua pesawat bekas Airbus A330-200 yang telah lama diburunya. Berdasarkan data pelacakan penerbangan yang dianalisis Associated Press, kedua pesawat bekas Hainan Airlines China tersebut tiba di Bandara Internasional Mehrabad Tehran pada Kamis setelah sebelumnya berada di Muscat dan melalui proses pendaftaran ulang.
Namun, transaksi ini tidak lepas dari kompleksitas sanksi AS. Pesawat tersebut menggunakan mesin Rolls-Royce yang mengandung komponen vital asal Amerika, sehingga memerlukan persetujuan Departemen Keuangan AS. Hingga kini, baik Departemen Luar Negeri maupun Keuangan AS belum memberikan tanggapan terkait persetujuan tersebut.
Sebelumnya, dalam kesepakatan nuklir 2015, Iran sempat mengaminkan pembelian pesawat baru melalui kontrak senilai puluhan miliar dolar dengan Airbus dan Boeing. Namun, rencana itu kandas setelah Presiden Donald Trump menarik AS dari perjanjian dan mengancam akan memberlakukan sanksi.
