Peran Penting Pemerintah dan Demokrasi Negara di Dunia Atasi Corona COVID-19

Peran pemerintah dan kebijakannya dalam mengatasi Corona COVID-19 dibahas dalam acara dialog virtual yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 03 Jun 2020, 10:31 WIB
Diterbitkan 03 Jun 2020, 10:31 WIB
Peran pemerintah dan kebijakannya dibahas dalam acara dialog virtual yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada Selasa, 2 Juni 2020 (istimewa)
Peran pemerintah dan kebijakannya dibahas dalam acara dialog virtual yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada Selasa, 2 Juni 2020 (istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Hingga saat ini pandemi Corona COVID-19 masih menjadi ancaman. Meski beberapa negara telah melakukan pelonggaran masa lockdown (atau karantina mandiri), otoritas di kebanyakan negara tidak gegabah akan hal tersebut.

Masyarakat sudah diperbolehkan keluar rumah, namun harus tetap mematuhi aturan. Seperti jaga jarak, menggunakan masker dan mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir.

Peran pemerintah di sebuah negara punya andil besar dalam menentukan nasib negara itu sendiri. Pihak otoritas harus bisa memperioritaskan kesehatan warga di tengah krisis ekonomi lantaran Virus Corona COVID-19 yang menyebabkan warga tak bisa beraktivitas sedia kala.

Peran pemerintah dan kebijakannya dibahas dalam acara dialog virtual yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada Selasa, 2 Juni 2020.

Dialog virtual dengan tema "Democracy in the time of COVID-19: Challenges and Future Opportunities" menghadirkan Duta Besar Korea Selatan Kim Chang-beom, President Korea Foundation Geun Lee sebagai opening remarks dan Kim Eui-young Professor of International Politics, Seoul National University, Tudong Mulya Lubis sebagai Duta Besar RI untuk Islandia, John Delury sebagai Professor Yonsei University Graduate School of International Studies and Underwood International Collage serta Endy Bayuni Senior Editor Jakarta Post sebagai pembicara. Acara ini dimoderatori oleh Founder FPCI yaitu Dino Patti Djalal.

Dalam pemaparan awal, Presiden Korea Foundation, Geun Lee menyebut pandemi Corona COVID-19 membentuk ancaman bagi demokrasi. Banyak sistem yang terganggu sehingga pemerintah di sejumlah negara menerapkan lockdown.

"Di negara dengan pendapatan yang sangat rendah menimbulkan masalah lain seperti kerusuhan dan diskriminasi. Pandemi ini juga menuntut kami terkait informasi hak asasi manusia," ujar Lee.

"Saya berharap diskusi ini bisa memberi nilai bagi kita semua."

Sementara itu, Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Kim Chang-beom menilai dengan adanya pandemi akan mempengaruhi kita manusia menjalani kehidupan tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan pengambil keputusan serta tokoh politik menentukan keputusan mulai dari lokal, pusat dan internasional.

"Jadi, penanganan Corona COVID-19 ini bicara soal komunikasi, koordinasi satu sama lain. Ini juga tergantung pada tiap masyarakat salah satunya menuruti aturan karantina dan lainnya."

"Korea Selatan dalam mengatasi masalah ini bisa menurunkan angka pasien lewat transparansi dan menghargai aturan demokrasi itu sendiri."

"Oleh karenanya, pemilu yang berlangsung pada 15 April lalu terbilang sukses dan banyak partisipasi meski dalam kondisi Corona COVID-19. Itu adalah salah satu masukan dari saya bagi Indonesia."

Dino Patti Djalal yang merupakan pendiri dari Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menilai bahwa manusia tengah berada dalam masa 'peperangan'.

"Kita ada dalam masa Perang Dunia ke-III. Perbedaannya dengan Perang Dunia ke-II yaitu membuat dunia selamat dari demokrasi. Sementara itu Perang Dunia ke-III jauh lebih 'pintar' yaitu berbentuk peperangan melawan virus yaitu Corona COVID-19."

"Jadi tujuan kita dalam 'peperangan' ini yaitu membuat dunia terbebas dari Corona COVID-19. Saya rasa semua dari kita tahu bahwa tiap negara harus berusaha dalam situasi ini. Namun dalam konteks ini kita ingin memastikan bagaimana demokrasi bisa berjalan."

 

Simak video pilihan berikut ini:

Belajar dari Korea Selatan

Kasus Virus Corona di Korsel Melonjak Jadi 204 Orang
Warga yang dicurigai terinfeksi virus corona atau COVID-19 menunggu untuk mendapat pemeriksaa di pusat medis di Daegu, Korea Selatan, Kamis (20/2/2020). Wali Kota Daegu meminta warganya untuk tidak bepergian. (Lee Moo-ryul/Newsis via AP)

Sebagaimana diketahui, Korea Selatan merupakan negara yang juga terdampak Corona COVID-19. Meski begitu, Negeri Gingseng ini dianggap sukses memerangi pandemi tanpa melakukan lockdown -- seperti negara lain.

Kim Eui-young Professor of Law, School of Law Seoul National University dalam papara di diskusi bertema "Democracy in the time of COVID-19 Challenges and Futures Opportunities" mengangkat sub materi "South Korean Experience and Civil Society Perspective."

"Saya akan menyampaikan pengalaman pemerintah Korea Selatan dalam kerja sama dengan masyarakat."

"Mulanya, Korea Selatan adalah negara yang mengalami jumlah pasien terpapar Virus Corona terbanyak di luar China. Namun, Korea Selatan mampu menurunkan penyebaran virus sejauh ini tanpa melakukan sistem lockdown seperti negara-negara lain."

Bagaimana kami bisa melakukannya?

"Strategi basic," ujar Eui-young.

"Yaitu melakukan tes, melacak dan mengobati. Sejauh ini upaya itu berjalan baik dan pemerintah melakukan pekerjaan baik."

"Untuk menghentikan pandemi, seluruh masyarakat harus memenuhi aturan dan petunjuk yang telah diberlakukan oleh pemerintah. Pemerintah juga memonitor dan menghukum siapa saja yang melanggar."

Kim Eui-young juga menyampaikan pernyataan dari Menteri Luar Negeri Korea Selatan yaitu Kang Kyung-wha; "Kontrol ini bisa terlaksana jika pemerintah memegang prinsip dasar yaitu keterbukaan, transparansi dan membuka publik infromasi."

 

Respons Baik Masyarakat Adalah Kunci Negara Berhasil Atasi Corona COVID-19

FOTO: Korea Selatan Tetap Gelar Pemilu Parlemen di Tengah Pandemi
Petugas menghitung surat suara di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Seoul, Korea Selatan, Rabu (15/4/2020). Pemungutan suara dimulai pukul 06.00 waktu setempat dan berlangsung selama 12 jam. (Xinhua/Lee Sang-ho)

Todung Mulya Lubis, Duta Besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia menilai COVID-19 ini merupakan tantangan bagi ekonomi dan kesehatan publik. Dari pandemi ini juga ia menilai bahwa manusia harus menghadapi Corona COVID-19 guna menjalani hidup seperti sedia kala.

"Tiap negara di dunia mencari jalan keluar dalam mengatasi pandemi. Seperti locdown dan kebijakan lain," ujar Todung Mulya Lubis.

"Dalam situasi genting ini, pemerintah (eksekutif) harus memiliki persetujuan dari parlemen (legislatif) dan keduanya harus menyetujui kerangka waktu darurat."

Todung Mulya Lubis juga menyoroti peran pemerintah tiap negara di dunia untuk membasmi berita bohong (fake news) saat pandemi.

Meminimalisir misinformasi dan hoaks yang sangat mudah tersebar di internet dalam hal ini adalah sosial media.

John Delury sebagai Professor Yonsei University Graduate School of International Studies and Underwood International Collage pernah melaporkan pemilihan umum di Korea Selatan beberapa waktu lalu untuk New York Times, memuji Negeri Ginseng dalam menjalani demokrasi di negaranya guna melawan Corona COVID-19.

Ia juga menyoroti negara lain seperti Taiwan, Jepang, Jerman, Australia dan Selandia Baru yang bisa mengatasi itu semua.

"Namun pertanyaannya, mengapa ada negara demokrasi yang bisa mengatasi dan belum bisa mengatasi."

"Sebagai seorang warga Amerika Serikat yang sudah tinggal lebih dari 10 tahun di Korea Selatan dan bahkan mengalami masa pandemi di sini menilai jika perbedaan itu terjadi karena manusia itu sendiri."

"Saya melihat ada respons yang efektif dari warga Korea Selatan, dalam hal ini masalah kesehatan publik. Lalu, ketika Presiden Moon Jae-in yang merujuk pada ahli kesehatan dalam mengatasi masalah ini."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya