Menlu Retno: Ada Proses yang Harus Dilalui untuk Penamaan Laut Natuna Utara

Tiongkok kian agresif untuk mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah mereka dengan konsep Sembilan Garis Putus.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 12 Jun 2020, 19:55 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2020, 19:55 WIB
Menlu Retno Marsudi dalam konferensi pers bersama awak media terkait kondisi WNI di luar negeri di tengah situasi pandemi Corona COVID-19 (istimewa)
Menlu Retno Marsudi dalam konferensi pers bersama awak media terkait kondisi WNI di luar negeri di tengah situasi pandemi Corona COVID-19 (istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Tiongkok kian agresif untuk mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah mereka dengan konsep Sembilan Garis Putus. Padahal, konsep itu tak diakui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). 

Untuk mengamankan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) diperairan Natuna, Menlu RI Retno Marsudi mengungkap sejumlah upaya yang telah dilakukan Indonesia. Salah satunya terkait penamaan Laut Natuna Utara. 

"Penamaan tersebut ada proses yang memang harus kita lalui, antara lain untuk me-register di organisasi yang namanya IHO yaitu International Hydrographic Organization, jadi itu proses yang harus kita lalui pada saat akan mengajukan nama tersebut," ujar Retno dalam Webinar di Jakarta, Jumat (12/6/2020).

"Tetapi sekali lagi kalau bicara mengenai isu Laut China Selatan posisi kita sangat konsisten, konsistensi ini saya kira perlu mendapatkan dukungan dari semua elemen bangsa Indonesia agar semakin kuat," tegas Retno.

Saksikan Video Berikut Ini:

China Agresif, Indonesia Tak Gentar

Menlu Retno Marsudi mengumumkan tiga WNI positif kena Virus Corona di kapal Diamond Princess.
Menlu Retno Marsudi mengumumkan tiga WNI positif kena Virus Corona di kapal Diamond Princess. Dok: Tommy Kurnia/Liputan6.com

Media internasional kembali membahas sikap agresif Tiongkok di Laut China Selatan (LCS). Posisi Indonesia dan negeri jiran Malaysia pun disorot karena memiliki kepentingan wilayah dalam isu ini.

Pada artikel CNN International, pakar maritim menilai China mengadopsi taktik yang lebih agresif. Ini dikhawatirkan memicu gesekan baru dengan Indonesia dan Malaysia. 

Pakar mengingatkan bahwa China mengandalkan pulau buatan untuk kehadiran militer mereka. 

"(Pulau-pulau) itu menyediakan pangkalan depan untuk kapal-kapal China, ini secara efektif menjadikan Malaysia dan Indonesia menjadi negara-negara garis depan," ujar Greg Polling, direktur Asia Maritime Transparency Institute (AMTI).

Manuver China tak terlepas dari ambisi negara itu untuk mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah mereka dengan konsep Sembilan Garis Putus. Konsep itu tak diakui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). 

Kementerian Luar Negeri Indonesia menegaskan tidak gentar dengan klaim itu atau dengan China yang makin agresif. 

"Indonesia tidak memiliki permasalahan perbatasan laut dengan RRT. Indonesia juga tidak mengakui klaim China atas ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) berdasarkan klaim yang tidak dikenal oleh UNCLOS," ujar (Plt.) jubir Kemlu Teuku Faizasyah kepada Liputan6.com.

Pihak Kemlu juga menyebut pihak yang mengganggu kestabilan di Laut China Selatan merupakan masalah bersama bagi negara-negara di wilayah ini. 

Isu Laut China Selatan dan klaim sepihak China memang tak hanya menjadi isu dengan Indonesia. China sempat diseret oleh Filipina ke pengadilan arbitrase internasional akibat klaim Laut China Selatan. 

Pada 2016, kasus itu dimenangkan oleh Filipina dan menegaskan China tak berhak mengklaim sumber daya Laut China Selatan berdasarkan konsep Sembilan Garis Putus. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya