Liputan6.com, Jakarta - Moeldoko memberikan analisis pribadi terkait Amerika Serikat dan China terkait isu Laut China Selatan. Ada beberapa faktor yang dipertimbangkan, mulai dari pilpres AS, pertahanan militer, dan pasar global.
Dalam jangka pendek, Moeldoko melihat isu Laut China bisa digunakan AS dan China untuk isu dalam negeri. Bagi Presiden Donald Trump, isu ini bisa dipakai untuk pilpres AS November mendatang.
Advertisement
Baca Juga
Untuk jangka panjang, AS bisa memainkan isu Laut China selatan untuk mengukur militer China. AS menggunakan kesempatan ini untuk memancing China keluar.
"Amerika sangat sulit mengkalkulasi sesungguhnya kekuatan militer China seperti apa," ujar Moeldoko pada diskusi Geopolitik di Laut China Selatan yang diadakan The Purnomo Yusgiantoro Center, Sabtu (20/6/2020).
Selain itu, AS masih unggul dari segi momentum untuk menekan China dengan memakai masalah Laut China Selatan sebagai pembenaran. Di lain pihak, China belum punya teman seperjuangan.
"Dari sisi China relatif tidak memiliki teman seperjuangan dan momentumnya yang belum tepat waktu. Bila terjadi sesuatu, sepertinya China nanti tak memiliki teman seperjuangan," jelas Moeldoko yang berkata Indonesia harus tetap netral.
Moeldoko berkata ini merupakan analisisnya pribadi dan tidak terkait sebagai jabatannya sebagai Kepala Staf Kepresidenan.
Lebih lanjut, Moeldoko melihat AS mendapat peluang untuk membuat aliansi baru di bidang ekonomi, pertahanan, hingga kesehatan di tengah isu ini, sementara China berpotensi kehilangan pasar global.
Moeldoko melihat ada kemiripan konstruksi antara situasi di AS saat ini dengan Jerman sebelum Perang Dunia II, contohnya seperti kondisi pengangguran yang sedang tinggi, serta psikologis masyarakat yang bisa diarahkan pada kebencian ke negara lain.
Namun, Moeldoko menilai sejauh ini kondisi di Laut China Selatan tidak akan berakhir dengan perang.
"Kalau saya melihat ending story-nya, paling nanti akan terjadi military campaign saja bagi Amerika, bagi China akan digunakan sebagai teater," kata Moeldoko.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Perang Dingin 2.0
Dosen FISIP Universitas Indonesia Andi Widjajanto berkata isu Donald Trump melawan China juga dipengaruhi masalah ekonomi. Salah satunya terkait 5G.
Andi mencontohkan bahwa inti dari perang dagang antara Presiden Trump dan Tiongkok adalah karena 5G milik Huawei yang ungugl dibanding negara-negara lain.
"Kelihatan bahwa China dan Huaweinya sudah berada di garis depan mendahului negara-negara lain," ujar Andi.
Ia memprediksi jika ada perang, maka perang lebih ke arah ekonomi dan teknologi.
"Perangnya mungkin tidak akan bentuk konvensional, tapi dalam perang-perang yang lain, proksi ada dan seterusnya. Tak sekeras Perang Dingin 1.0 antara AS dan Soviet. Mungkin kita sedang masuk Perang Dingin 2.0," ucap Andi.
"Perang dingin 1.0 intinya penyebaran ideologi politik, Perang Dingin 2.0 intinya investasi terutama energi dan teknologi," lanjutnya.
Andi pun menyorot transformasi ekonomi China. Meski komunis, kini China sudah mulai membentuk kapitalismenya sendiri, yakni state capitalism.
China mengandalkan BUMN mereka sebagai titik terdepan dalam bidang infrastruktur hingga energi.
Di tengah persaingan antara AS dan China, Andi berharap Indonesia bisa tetap menavigasi politik luar negerinya dengan lihat.
"Indonesia harus betul-betul bisa menguatkan karakter bebas-aktif untuk kemudian berselancar, bernavigasi, di antara pertarungan dua negara besar ini," pungkasnya.
Advertisement