PBB Serang Negara Kuat Terkait Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Direktur eksekutif Human Rights Watch, Kenneth Roth, menyebut banyak negara-negara kuat tak tersentuh.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Mar 2021, 13:31 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2021, 13:31 WIB
Sidang Briefing Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengenai Anak-anak dalam Konflik Bersenjata (Security Council Briefing on Children in Armed Conflict) di Markas Besar PBB di New York, Rabu, 12 Februari 2020.
Sidang Briefing Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengenai Anak-anak dalam Konflik Bersenjata (Security Council Briefing on Children in Armed Conflict) di Markas Besar PBB di New York, Rabu, 12 Februari 2020. (Source: Kemlu RI)

Liputan6.com, New York - Dewan Hak Asasi Manusia PBB menuntut negara-negara kuat agar diperiksa dan bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM yang telah mereka lakukan.

Selama ini, pihak PBB menyebut ado 'tembok' yang melindungi negara-negara itu.

Direktur eksekutif Human Rights Watch, Kenneth Roth, menyebut mereka "tak tersentuh".

"Yang saya maksud dengan sebutan itu adalah pemerintah yang berhasil menghindari pengawasan melekat yang nyata dalam bentuk resolusi dewan. Yang paling tak tersentuh yang ada dalam benak saya adalah China, Arab Saudi, Mesir, dan Rusia," jelasnya.

Menghadapi negara-negara yang tak tersentuh ini, menurut Roth, bukan hanya tantangan terbesar yang dihadapi dewan, tetapi juga penting untuk kredibilitasnya.

Ia mengungkapkan, upaya sedang dilakukan untuk menyusun pernyataan kritis tentang Mesir dan Arab Saudi. Tekanan semakin meningkat terhadap Rusia terkait dugaan peracunan aktivis oposisi Alexey Navalny.

Namun, yang paling menarik, kata Roth, adalah tanda-tanda yang muncul bahwa China mungkin tidak lagi tak tersentuh.

"Selama ini secara politik dipandang tidak mungkin mengatasi represi yang memburuk di Xinjiang, represi yang berkelanjutan di Tibet, penumpasan kebebasan di Hong Kong. Kita tahu, adalah tidak mungkin mengalahkan upaya diplomatik dan ekonomi China yang sangat besar supaya pengawasan melekat seperti itu tidak terjadi. Tetapi masa, kini berubah," kata Roth.

 

Simak video pilihan di bawah ini:

Muslim Uighur

Peduli Muslim Uighur, Warga Gelar Aksi Saat CFD
Topeng bendera Turkestan Timur yang dipakai peserta Aksi Save Uighur selama CFD, Jakarta, Minggu (22/12/2019). Aksi digelar sebagai bentuk peduli terhadap muslim Uighur di Xinjiang yang diduga hingga saat ini terus mengalami tindakan kekerasan oleh pemerintah China. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Kritik internasional terhadap dugaan penahanan setidaknya 1 juta Muslim Uighur di China, dalam apa yang disebut kamp pendidikan kejuruan, semakin pedas pekan lalu dalam pertemuan Segmen Tingkat Tinggi dewan tersebut.

Dalam pernyataan yang keras, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyebut situasi di Xinjiang sudah di luar batas. "Pelanggaran yang dilaporkan, yang mencakup penyiksaan, kerja paksa, dan sterilisasi paksa terhadap perempuan, sangat ekstrem. Pelanggaran itu sangat luas dan terjadi dalam skala sangat besar. Seharusnya, menjadi tugas kita bersama untuk tidak membiarkan pelanggaran itu terus terjadi. Mekanisme PBB harus merespons."

Raab meminta dewan agar mengeluarkan resolusi yang memungkinkan akses mendesak dan tidak terbatas ke Xinjiang oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia atau tim pakar pencari fakta independen lainnya. Raab juga mengutuk pelanggaran yang sistematis terhadap hak-hak di Hong Kong dan pembatasan di Tibet.

Menteri Luar Negeri China Wang Yi membalas kritikan itu dengan keras. Ia meminta mereka agar tidak mencampuri urusan dalam negeri China dan berhenti menggunakan hak asasi manusia sebagai dalih untuk mencampuri urusan internal negara lain. Ia menyatakan bahwa pintu ke Xinjiang selalu terbuka dan mengundang Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia untuk berkunjung.

Dalam rapat rutin, Jumat, membahas situasi terbaru hak asasi manusia global, kepala kantor hak asasi manusia PBB Michele Bachelet menegaskan pentingnya kunjungan semacam itu. Ia menyatakan bahwa ia yakin pengaturan yang disepakati bersama akan memungkinkannya berkunjung ke China.

Hingga saat ini, upaya untuk mengatur kunjungan ke wilayah itu, yang dimulai sebelum Bachelet menjabat pada September 2018, tidak pernah terwujud.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya