Liputan6.com, Yangon - Bak zona perang. Ada kepulan asap, desingan peluru, hingga meriam air. Hari paling berdarah terjadi di Myanmar.
Bercak darah terlihat di sejumlah jalanan Kota Yangon. Tercatat, 38 orang tewas dalam demonstrasi menentang kudeta militer Myanmar pada Rabu 3 Maret 2021.Â
Baca Juga
Utusan PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener menyebutnya sebagai "hari paling berdarah" sejak militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021.
Advertisement
"Ini adalah yang paling berdarah sejak kudeta terjadi," ujar Burgener.
Hari itu, sekitar 1.200 orang ditahan aparat di Myanmar. Banyak dari anggota keluarga yang tidak tahu di mana lokasi penahanan sanak saudara mereka.
Aktivis menyebut Myanmar sudah mirip seperti "zona perang" akibat aksi represif aparat terhadap para demonstran.Â
"Militer memperlakukan pengunjuk rasa yang damai di Yangon seperti sebuah zona perang. Militer lagi-lagi menciptakan teror," ujar kelompok aktivis Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), seperti dilansir CNN.
Laporan media Myanmar mengungkap adanya pasukan keamanan yang menembaki kerumunan besar di sejumlah kota, termasuk Yangon, dengan sedikit peringatan. Dua anak laki-laki, berusia 14 dan 17 tahun, serta seorang wanita berusia 19 tahun termasuk di antara mereka yang tewas, kata organisasi Save the Children.Â
Enam orang juga dilaporkan ditembak mati selama protes di Monywa, Myanmar tengah. 30 orang lainnya terluka dalam kerusuhan itu dan seorang relawan medis mengatakan kepada AFP bahwa 10 orang terluka di Myingyan.Â
"Mereka menembakkan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam," kata relawan medis.
"Mereka tidak menyemprot kami dengan meriam air, (tidak ada) peringatan untuk bubar, mereka hanya menembakkan senjata," kata seorang pengunjuk rasa di kota itu.
Dalam catatan PBB, lebih dari 50 orang tewas dalam demonstrasi sejak militer melakukan kudeta pada 1 Februari 2021.