Tahun 2023, Prospek Ekonomi Dunia Diprediksi Semakin Suram

Prospek ekonomi global menuju 2023 suram, menurut sejumlah analisis baru-baru ini. Perang yang berkelanjutan di Ukraina terus membebani perdagangan, khususnya di Eropa.

oleh Liputan6.comHariz Barak diperbarui 27 Nov 2022, 13:01 WIB
Diterbitkan 27 Nov 2022, 13:01 WIB
China Mulai Berikan Vaksin COVID-19 Hirup
Wanita yang memakai masker wajah mengantre untuk mendapatkan tes usap tenggorokan COVID-19 rutin mereka di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (26/10/2022). Kota Shanghai di China mulai memberikan vaksin COVID-19 yang dapat dihirup pada hari Rabu di tempat yang tampaknya menjadi yang pertama di dunia. (AP/Andy Wong)

Liputan6.com, Jakarta - Prospek ekonomi global menuju 2023 suram, menurut sejumlah analisis baru-baru ini. Perang yang berkelanjutan di Ukraina terus membebani perdagangan, khususnya di Eropa.

Selain itu, pasar menunggu pembukaan kembali ekonomi China sepenuhnya setelah berbulan-bulan terganggu lockdown terkait COVID-19.

Di Amerika, tanda-tanda pengetatan pasar kerja dan perlambatan aktivitas bisnis memicu kekhawatiran resesi.

Secara global, inflasi naik, dan aktivitas bisnis, terutama di zona euro dan Inggris, terus menyusut.

Dalam analisis yang dirilis Kamis (24/11), Institute of International Finance (IIF) di Washington, D.C. memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya 1,2% pada 2023, tingkat yang setara pada 2009, ketika dunia baru keluar dari krisis keuangan.

Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan setuju pada perkiraan pesimistis.

Dalam laporan yang dirilis pekan ini, kepala ekonom interim organisasi itu Álvaro Santos Pereira menulis, “Kami saat ini menghadapi prospek ekonomi yang sangat sulit. Skenario pusat kami bukanlah resesi global, tetapi perlambatan pertumbuhan yang signifikan bagi ekonomi dunia pada 2023, serta masih tingginya, meskipun menurun, inflasi di banyak negara.”

 

Bisnis Senjata Laris Akibat Perang Rusia-Ukraina

FOTO: Jemaah Mulai Rangkaian Ibadah Haji 2021
Jemaah tiba di Masjidil Haram pada awal musim haji di Mekkah, Arab Saudi, Sabtu (17/7/2021). Jemaah haji melakukan tawaf dengan tetap menjaga jarak demi mengantisipasi penyebaran COVID-19. (FAYEZ NURELDINE/AFP)

Invasi yang dilancarkan Rusia terhadap Ukraina memicu masalah perekonomian global karena harga pangan dan energi melonjak.

Inflasi global pun menghantui. PM Inggris Rishi Sunak di G20 berkata bahwa tidak ada yang tidak terdampak efek invasi Rusia.

Namun, bisnis senjata ternyata untung dari perang yang terjadi. Produksi senjata pun terus meningkat.

Dilaporkan VOA Indonesia, Jumat (25/11/2022), produsen senjata di Eropa Timur memproduksi senjata dan amunisi pada kecepatan yang belum pernah terjadi sejak masa Perang Dingin.

Banyak negara di kawasan itu yang masih mewaspadai Rusia – bekas tuan mereka, Soviet – dan ingin membantu perlawanan Ukraina.

 

Perusahaan Senjata Memanfaatkan Kesempatan

Pengusaha minta penundaan kebijakan zero odol
Sejumlah truk melintasi ruas jalan tol Tangerang-Jakarta, Kota Tangerang, Banten, Rabu (2/3/2022). Apindo mengatakan penerapan kebijakan bebas truk kelebihan muatan (over dimension overload/ODOL) akan sulit dilaksanakan pada 2023 karena ekonomi terpuruk akibat covid-19. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Perusahaan senjata milik pemerintah Polandia, PGZ, membuat berbagai produk, dari pesawat nirawak (drone) hingga kendaraan lapis baja.

Pemimpin perusahaan itu, Sebastian Chwalek, mengatakan perusahaannya hampir melipatgandakan rencana investasi mereka untuk sepuluh tahun ke depan.

“Kami mengembangkan dan memperluas kemampuan kami. Kami mempersiapkan peningkatan pengiriman senjata bukan hanya untuk pasar Polandia – kami sadari itu. Kami sedang berdiskusi dengan calon pelanggan dari negara ketiga yang ingin melengkapi pasukan mereka dengan persenjataan Polandia.”

PGZ mengatakan pihaknya telah mengirimkan berbagai macam peralatan ke Ukraina, termasuk mortir, senjata-senjata kecil dan amunisi.

Perusahaan itu memperkirakan pendapatan mereka pada 2022 akan melampaui tingkat pra-perang yang hampir mencapai $1,5 miliar (sekitar Rp23,4 triliun).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya