Liputan6.com, Washington, DC - Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) sedang dibuat geger dengan tersebarnya dokumen rahasia negara di media sosial. Dokumen tersebut juga terkait dengan NATO.
Apa isi dokumen-dokumen tersebut?
Baca Juga
Berdasarkan laporan AP News, Kamis (12/4/2023), dokumen tersebut terkait program AS dan NATO untuk Ukraina. Ada juga yang terkait China dan Timur Tengah. Dokumen-dokumen yang tersebar di Twitter itu diberi label rahasia.
Advertisement
Namun, informasi yang beredar itu kemungkinan telah diubah. Pengubahan tersebut diduga sebagai upaya disinformasi.
Terdapat detail yang diungkap terkait senjata dan perlengkapan yang dikirim ke Ukraina. Dokumen-dokumen itu tertanggal 23 Februari 2023 hingga 1 Maret 2023.
Pengiriman tersebut dilengkapi dengan tanggal-tanggal spesifik yang biasanya tidak diungkap ke publik.
AP News menyebut dokumen itu bukan rencana untuk perang serta tidak mendetail strategi serangan Ukraina.
Dokumen itu juga mengandung kesalahan. Contohnya tentang angka kematian tentara Rusia yang disebut sejumlah 16.000 dan 17.500 orang. Angka kematian di pihak Ukraina disebut mencapai 71 ribu orang.
Angka itu berbeda dari angka yang diberikan pemimpin Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley yang menyebut lebih dari 100 ribu tentara Rusia meninggal. Jumlah kematian dari pihak Ukraina juga sekitar angka tersebut.
Investigasi Kementerian
AP News melaporkan bahwa dokumen-dokumen itu mirip dengan informasi harian yang dibuat oleh Staf Gabungan.
Seorang pejabat AS menyebut bahwa pemerintah AS percaya nilai intelijen dari informasi tersebut hanya sedikit. Pasalnya, informasi yang tertulis sudah terkuak di publik atau dapat dipantai di medan tempur.
Meski demikian, pihak Pentagon telah melaporkan hal ini kepada Kementerian Kehakiman terkait masalah ini.
"Kami telah berkomunikasi dengan Kementerian Pertahanan terkait masalah ini dan telah memulai sebuah investigasi," ujar pihak Kementerian Kehakiman AS.
Menlu Rusia Minta Adanya New World Order
Sebelumnya dilaporkan, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov berkata siap melakukan negosiasi dengan Ukraina jika ada "new world order" atau tatanan dunia baru. Lavrov ingin Amerika Serikat tak mendominasi di tatanan tersebut.
Keinginan itu diungkap Menlu Rusia saat berkunjung ke Ankara, Turki, untuk membahas ekspor gandum dari Ukraina. Turki selama ini berperan sebagai penengah di isu ekspor gandum Ukraina agar pelabuhan tak diblokir Rusia.
Dilaporkan euronews, Minggu (9/4), Menlu Lavrov menyebut perlunya ada diskusi prinsip dasar new world order.
"Apa yang harus dibahas adalah prinsip-prinsip tatanan dunia baru yang akan kita perlukan," ujar Menlu Sergey Lavrov.
Ia berkata seharusnya tidak ada tatanan dunia yang sepihak, namun yang berdasarkan prinsip-prinsip Piagam PBB.
"Yang saya tekankan sekali lagi, (Piagam PBB) sedang dilanggar secara langsung oleh perkumpulan Barat," ujarnya.
Sejak tahun lalu, pihak PBB telah mengecam Rusia karena invasi mereka ke Ukraina telah melanggar Piagam PBB.
"Invasi Rusia ke wilayah Ukraina adalah pelanggaran integritas wilayah dan Piagam dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Itu harus berakhir demi rakyat Ukraina, Rusia, dan seluruh dunia," ujar Sekjen PBB António Guterres pada Mei 2022.
Advertisement
Sanksi Ekonomi ke Rusia
Federasi Rusia juga masih terus bertahan di tengah badai sanksi ekonomi dari negara-negara Barat. Beragam sanksi diberikan karena invasi Rusia ke Ukraina. Rusia menyebut serangan itu sebagai "operasi militer khusus".
Namun, Presiden Putin mulai memberikan sinyal terkait dampak negatif sanksi yang berkelanjutan.
Berdasarkan laporan VOA Indonesia, Kamis 6 April, Presiden Vladimir Putin pada akhir bulan lalu menegaskan potensi terjadinya masalah ekonomi di masa depan dan mendesak pemerintah untuk bertindak cepat.
"Sanksi yang dijatuhkan terhadap ekonomi Rusia dalam jangka menengah benar-benar dapat berdampak negatif," kata Vladimir Putin dalam pertemuan yang disiarkan televisi.
Padahal sebelumnya Vladimir Putin mengatakan masa terburuk kondisi ekonomi Rusia telah berakhir. Bahkan Putin memuji kebijakan "kedaulatan ekonomi" dan bersikeras bahwa strategi sanksi yang diterapkan Barat malah menjadi bumerang.
Realistis
Pakar menyebut obvervasi Putin cukup realistis, namun juga pesan kepada para pebisnis Rusia untuk menampilkan kesan bahwa hanya Putin yang bisa membuat mereka aman.
"Pengamatan Bapak Putin cukup realistis," kata Arnaud Dubien, direktur lembaga kajian Observatorium Prancis-Rusia di Moskow.
Dubien, seorang ahli veteran Rusia, mengatakan Putin berusaha untuk lebih memobilisasi perusahaan dan pejabat pemerintah karena Moskow memutuskan hubungan dengan Barat.
"Situasinya lebih baik dari yang diharapkan, tapi jangan santai, terus cari alternatif," katanya menggambarkan logika kepala Kremlin.
Alexandra Prokopenko, mantan pejabat bank sentral Rusia, menyatakan bahwa pesan Putin terutama menargetkan perusahaan yang terkena sanksi berat.
"Ini pesan untuk bisnis," kata Prokopenko, yang bekerja di bank sentral antara 2017 dan 2022 dan berhenti setelah dimulainya serangan Moskow di Ukraina.
"Anda hanya aman di Rusia di bawah tanggung jawab saya, tidak ada jalan kembali," katanya.
Advertisement