Liputan6.com, Rabat - Jumlah korban tewas dan cedera akibat gempa Maroko magnitudo 6,8 pada 8 September 2023 dilaporkan meningkat setelah tim penyelamat menjangkau lebih banyak desa-desa terpencil. Dilansir AP, pihak berwenang mengumumkan bahwa angka kematian tercatat 2.946, sementara ribuan lainnya terluka.
PBB memperkirakan sekitar 300.000 orang terdampak gempa Maroko yang berpusat di Pegunungan Atlas.
Pihak berwenang Maroko pada awal pekan ini mengatakan bahwa mereka merespons dengan baik tawaran bantuan dari tim pencarian dan penyelamatan dari Inggris, Spanyol, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Namun, menolak menerima pertolongan dari sejumlah negara lain, termasuk Prancis.
Advertisement
Presiden Prancis Emmanuel Macron pun berupaya meredakan kekakuan melalui video yang diunggahnya di media sosial. Macron mengatakan bahwa Maroko menerima bantuan Prancis atau tidak itu adalah sepenuhnya urusan kedaulatan Maroko.
Sebelumnya, saat menghadiri KTT G20 India, Macron menuturkan bahwa Prancis telah melakukan segala yang mereka bisa dan bantuan akan dikerahkan segera setelah diminta.
"Ada banyak kontroversi yang tidak beralasan dalam beberapa hari terakhir ini," kata Macron dalam video tersebut, seperti dilansir The Guardian, Kamis (14/9). "Ada kemungkinan untuk memasok bantuan kemanusiaan secara langsung. Ini jelas tergantung pada Yang Mulia Raja dan pemerintah Maroko, dengan cara yang sepenuhnya sesuai dengan kedaulatan mereka, untuk mengatur bantuan internasional."
"Saya berharap semua kontroversi yang memecah belah dan memperumit masalah pada momen tragis ini dapat mereda demi menghormati semua pihak yang terlibat."
Sementara itu, Maroko menolak dugaan bahwa negaranya tidak mempunyai kapasitas untuk merespons bencana gempa.
Luka Masa Lalu?
Ketegangan antara Maroko dan Prancis meningkat bahkan sebelum gempa terjadi.
Maroko belum mengirimkan duta besarnya ke Prancis selama berbulan-bulan dan Macron sendiri telah membatalkan beberapa rencana kunjungan kenegaraan ke Rabat. Pemerintahan kolonial Prancis atas Maroko, yang berlangsung dari tahun 1912 hingga 1956, telah lama membayangi hubungan kedua negara.
Namun, Raja Maroko Mohammed VI diyakini menghabiskan sebagian besar waktunya di beberapa kediaman pribadinya di Prancis, memerintah dari sebuah istana dekat Paris atau sebuah rumah besar di dekat Menara Eiffel.
Sebuah sumber yang dekat dengan istana Kerajaan Maroko mengatakan reaksi terhadap pesan video Macron baik dari istana maupun kementerian luar negeri tidak mungkin terjadi.
"Di Maroko, kami tidak memerintah melalui Twitter," kata mereka. "Video ini mengolok-olok pemerintahan. Dia tidak punya hak untuk berbicara langsung dengan rakyat Maroko … Dia berusaha mencegah kontroversi lebih lanjut, namun kontroversi ini adalah kontroversi yang dia ciptakan dan bakar sendiri, dengan menggunakan media sosial."
Advertisement
Bantuan Aljazair Juga Ditolak
Kontroversi seputar bantuan tidak hanya terbatas pada hubungan Maroko dengan Prancis. Awal pekan ini, Aljazair menyatakan bahwa mereka akan membuka wilayah udaranya agar bantuan kemanusiaan dapat mencapai Maroko.
Itu merupakan sebuah gestur besar setelah Aljazair memutuskan hubungan diplomatik dengan tetangganya dua tahun lalu atas apa yang mereka sebut sebagai tindakan bermusuhan Maroko.
Beberapa hari kemudian, televisi pemerintah Aljazair menayangkan gambar petugas pertolongan pertama yang berbaris di landasan bandara militer dekat Kota Boufarik, siap menaiki tiga pesawat terdekat yang akan membawa bantuan ke Maroko.
Menteri Kehakiman Maroko Abdellatif Ouahbi mengatakan kepada saluran satelit Arab Saudi Al Arabiya bahwa Rabat akan menerima bantuan Aljazair, meskipun media Maroko kemudian mengklaim komentarnya disalahartikan dan membantah adanya dugaan bahwa Rabat akan menerima bantuan tersebut.
Kementerian Luar Negeri Aljazair kemudian mengeluarkan pernyataan melalui kantor pers negara, "Pemerintah Aljazair telah memperhatikan tanggapan resmi Kerajaan Maroko, yang mengatakan bahwa mereka tidak membutuhkan bantuan kemanusiaan yang diulurkan oleh Aljazair."