Liputan6.com, Jakarta - Dr. Daniel Mendham selaku Principal Research Scientist dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) buka suara tentang bagaimana perubahan iklim telah berdampak di Australia.Â
"Australia telah lama dikenal sebagai negeri yang kerap dilanda kekeringan dan banjir. Seperti gambaran puisi yang ditulis pada tahun 1908, 'My Country', karya Dorothea Mackellar," ungkap Dr. Daniel pada program Liputan6 Climate Talk, Jumat (20/10/2023).
Baca Juga
"Namun sekarang kita memiliki tambahan (masalah) perubahan iklim, yang jelas meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan masalah-masalah ini."
Advertisement
Dr. Daniel lalu mengungkap kekhawatiran tentang meningkatnya keparahan kebakaran hutan dan lahan di Australia serta kaitannya dengan perubahan iklim. Menurutnya, Australia yang dikenal dengan cuaca yang kering dan hujan deras, kini menghadapi perubahan iklim yang meningkatkan risiko banjir dan kebakaran hutan.Â
"Dan di Australia, serta di Indonesia, kita baru saja mengalami tiga tahun yang lembab dan terjadi banyak banjir. Tetapi sekarang kita akan menghadapi El-Nino, baik El-Nino maupun pola cuaca Indian Ocean Dipole Positive yang berarti sangat panas, sangat kering, dan sangat berisiko tinggi terjadinya kebakaran," lanjutnya.
"Dan karena kita telah mengalami tiga tahun cuaca yang sangat lembab ini, sekarang banyak 'bahan bakar' (pemicu kebakaran) atau vegetasi yang telah tertumpuk di lanskap kita."
Sementara itu, penumpukan vegetasi intens di Australia menambah risiko kebakaran, terutama karena suhu atmosfer yang semakin meningkat akibat perubahan iklim.Â
Tindakan Manusia Memperburuk Kebakaran Lahan
Musim yang panas dan kering sekarang menjadi hal yang sedang dunia hadapi, dan ini hanya memperbesar risiko kebakaran. Dr. Daniel mengatakan bahwa tindakan sembrono manusia juga jadi salah satu faktor penyebabnya.
"Salah satu kebakaran di dekat saya, di Canberra, terjadi pada Januari 2020 karena seseorang mendaratkan helikopter di taman nasional untuk berhenti buang air, peristiwa itu membakar 80% dari Taman Nasional Namadgi dan mengancam Canberra," ujar Dr. Daniel.
Menurut data Dr. Daniel, Australia telah merespons fenomena perubahan iklim ini dengan berbagai cara. Berusaha mencapai nol emisi CO2 bersih pada tahun 2050 dan memasang panel surya di banyak rumah. Ini adalah bagian dari upaya negaranya untuk melepaskan diri dari bahan bakar fosil.Â
"Australia masih mencari jalan terbaik untuk merespons fenomena ini. Kami mengakui bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko banjir dan kebakaran hutan. Dan efek gabungan ini meningkatkan kerentanan komunitas kami."
"Kami sedang meneliti beberapa cara untuk merespons, baik melalui upaya mitigasi perubahan iklim lebih lanjut sebanyak mungkin, tetapi juga adaptasi terhadap situasi baru," jelasnya.
Advertisement
Aspek Vital Menghadapi Kebakaran Hutan Australia
Dalam upaya untuk menghadapi ancaman kebakaran hutan, khususnya di wilayah Australia Selatan, Dr Daniel Mendham, Principal Research Scientist CSIRO, telah menekankan beberapa aspek kunci vital. Yaitu:
- Salah satu langkah penting dalam pencegahan kebakaran adalah pengurangan bahan bakar melalui pembakaran dilakukan pada waktu-waktu ketika cuaca lebih sejuk dan basah, serta kebakaran hutan tidak mungkin meluas.
- Selain itu, diterapkan sistem penilaian bahaya kebakaran yang memberlakukan larangan total kebakaran selama periode berisiko tinggi, termasuk larangan pergerakan di lahan dan penggunaan mesin. Masyarakat juga diingatkan akan risiko kebakaran, serta dihimbau untuk tidak membakar.
- Selain upaya pencegahan, peningkatan kesiapan petugas pemadam kebakaran pada hari-hari dengan tingkat bahaya kebakaran tinggi menjadi fokus penting. Tim pemadam kebakaran berada di pos pemadam dan siap untuk dikerahkan segera begitu ada tanda-tanda kebakaran.
- Terkait dengan sistem deteksi, Australia Selatan kini memperkenalkan sistem deteksi berbasis AI (artificial intelligence) atau kecerdasan buatan yang menggunakan jaringan kamera untuk mendeteksi asap dan memberikan peringatan dini.Â
Sistem ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi kebakaran sejak dini, memungkinkan respons yang lebih cepat dan efisien dalam menangani situasi darurat.
Australia Bantu Memulihkan Rawa Gambut Indonesia
Pada kesempatan itu, Dr. Daniel juga mengungkap bahwa Australia juga berupaya membantu Indonesia untuk menangani kebakaran lahan gambut.
"Australia memiliki area lahan gambut yang lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia, karena kita adalah benua yang lebih kering. Tapi kita sudah bekerja sama dengan Indonesia untuk membantu memahami bagaimana untuk memulihkan lahan gambut Indonesia," terang Dr. Daniel.
Ia kemudian berbicara tentang pentingnya memulihkan lahan gambut, baik di Australia maupun Indonesia, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan terhadap kebakaran.Â
Salah satunya, kata Dr. Daniel, melibatkan penjagaan lahan gambut agar tetap basah, mengubah perilaku masyarakat terkait pembakaran, dan memberikan dukungan kepada petani dalam upaya untuk berhenti membakar lahan.
"Lahan gambut ini sangat penting dan memiliki signifikansi global, baik untuk kontribusi potensial mereka terhadap emisi gas rumah kaca maupun keanekaragaman hayati mereka. Lahan gambut ini menempati area sekitar 14 juta hektar, terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Luas area ini hampir sama dengan wilayah Wheatbelt, Australia Barat."
Advertisement