Liputan6.com, London - Latar belakang pendidikan calon wakil presiden RI Gibran Rakabuming Raka menjadi perbincangan di media sosial. Ada sejumlah pihak yang mempertanyakan negara tempat Gibran kuliah dan jenjang sarjananya.
Profil Gibran di situs resmi pemerintah Solo (Prokompim) menyebut Gibran pernah kuliah di Singapura, lalu disebut lanjut studi di Australia.
Baca Juga
"Pada tahun 2007 Gibran Rakabuming Raka lulus dari Management Development Institute of Singapore dan melanjutkan studinya ke program Insearch di University of Technology Sydney Insearch, Sydney, Australia hingga lulus pada tahun 2010," tulis situs Prokompim, dikutip Selasa (21/11/2023).
Advertisement
Bila melihat penjelasan tersebut, ada kesan bahwa Gibran menempuh S1 di Singapura, kemudian lanjut S2 di Sydney.
Namun, ada pertanyaan mengapa ijazah Gibran menyebut gelarnya dari University of Bradford yang berada di Inggris, bukan di Singapura.
Ada lagi pertanyaan soal durasi kuliah. Sebab, jika Gibran lulus S1 pada 2007 (sesuai yang tertulis di situs Prokompim), maka artinya Gibran tiga tahun studi di Sydney, padahal kuliah S2 tidak sampai tiga tahun.
Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan soal pendidikan Gibran:
Singapura, Inggris, atau Australia?
1. Singapura
Adalah benar bahwa Gibran Rakabuming Raka kuliah di Singapura, yakni di Management Development Institute of Singapore (MDIS). Gibran juga sudah membagikan foto bahwa ia kuliah di Singapura.
Jadi, bisa disimpulkan Gibran memang sudah punya gelar S1.
2. Inggris
Pertanyaan berikutnya adalah gelar dari Inggris. Pasalnya, Gibran tidak mendapat gelar dari MDIS, melainkan dari University of Bradford.
Itu bisa didapat Gibran karena MDIS menjalin hubungan dengan kampus-kampus UK, salah satunya Bradford.
Oleh karena itu, ijazah Gibran tertulis University of Bradford, meski ia kuliah di Singapura.
Pada daftar universitas terbaik dunia, University of Bradford berada di peringkat 500-600 (Times Higher Education 2023) dan 641-650 (QS 2024).
3. Australia?
Yang menarik disorot sebetulnya adalah pendidikan Gibran di Australia, sebab ia disebut pernah studi "program Insearch di University of Technology Sydney" hingga lulus pada 2010.
University of Technology Sydney (UTS) merupakan kampus yang cukup beken. Pada daftar universitas terbaik dunia, posisi UTS relatif tinggi, yakni 133 (Times Higher Education 2023) dan 90 (QS 2024).
Tetapi ada hal yang sedikit membingungkan dari profil Gibran. Ia disebut lulus dari program UTS pada 2010, padahal tahun itu ia juga baru lulus MDIS.
Apabila ditelusuri, program Insearch bukanlah program kuliah sarjana S1 atau S2, melainkan hanya program persiapan masuk kuliah.
Kantor berita Antara juga telah menampilkan infografis terbaru bahwa Gibran lulus dari program Insearch itu pada 2006, bukan 2010.
Gibran pun tercatat melanjutkan kuliah di MDIS, bukan University of Technology Sydney.
Kesimpulannya, Gibran Rakabuming Raka memang kuliah S1 di Singapura, namun ia tidak lanjut studi master di Sydney, sebab Insearch memang bukan program master.
Advertisement
Literasi Siber
Sebelumnya dilaporkan, pakar Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Internet Development Institute, Salahuddin menyebutkan, literasi siber penting dimiliki oleh milenial dan generasi Z dalam menghadapi polarisasi politik menjelang pesta demokrasi Pemilu 2024.
Dengan keterampilan literasi siber, kedua generasi ini diharapkan mampu tetap berpikir kritis di tengah maraknya polarisasi politik di media sosial. Terlebih, 50 persen pemilih di DKI Jakarta berasal dari kedua generasi tersebut.
“Pemilih kita (DKI Jakarta) dalam pemilu yang akan datang setengahnya adalah gen Z dan milenial,” ujar Salahuddin dikutip dari Antara, Senin (20/11/2023).
Untuk itu, Salahuddin mengimbau agar milenial dan gen Z bersikap lebih kritis dengan lebih teliti, cermat, dan lebih mengelaborasi lagi apa yang disampaikan oleh para politisi selama masa Pemilihan Umum 2024.
“Kritis itu maksudnya lebih teliti, lebih cermat, lebih mendalami, lebih mengelaborasi apa yang disampaikan oleh para politisi,” imbuhnya.
Menurutnya, milenial dan generasi Z lebih mudah diajak untuk mendalami literasi siber sebab kehidupan sosial kedua generasi tersebut lebih dekat dengan ruang siber.
“Jadi, generasi milenial atau gen Z lebih mudah untuk diajak mendalami literasi siber. Kehidupan sosial di dunia siber, mereka lebih mendalam, lebih menguasai,” jelas Salahuddin.
Dengan pemahaman mengenai ruang siber yang lebih mendalam tersebut, Salahuddin berharap, generasi Z dan milenial dapat memanfaatkannya untuk mendalami literasi siber. Kemudian, kemampuan literasi siber tersebut dapat menjadi sarana untuk mendeteksi kebenaran dalam polarisasi politik yang terjadi.
“Sehingga mereka punya radar di dalam dirinya untuk bisa mendeteksi, ‘oh ini enggak bener nih’. Jadi, konten-konten yang direproduksi dengan cara negatif, dengan cara ‘misleading’ (menyesatkan), dengan cara memutarbalikkan fakta dapat dilihat secara jernih dengan modal literasi siber,” tegasnya.
Potensi Hoaks Berkurang, Masyarakat Waspada Konten Berpotensi Misleading
Salahuddin menambahkan, meskipun potensi hoaks maupun ujaran kebencian diprakirakan berkurang dalam pemilu mendatang. Namun, masyarakat harus tetap waspada terhadap konten-konten yang disampaikan secara sopan, tetapi dalam kondisi tertentu berpotensi mengarahkan persepsi.
“Meskipun nanti tidak melalui cara-cara penyebaran hoaks dan ujaran kebencian atau yang sejenisnya, praktik untuk mengarahkan persepsi ini masih akan terjadi,” ujarnya.
Penyebaran konten-konten tersebut dilakukan melalui media mainstream dan media alternatif. “Bikin podcast-podcast gitu ya. Itu kan masih tetap dilakukan,” imbuhnya.
Selanjutnya, ia menjelaskan, selama masih ada persepsi tertentu yang ingin diciptakan, opini yang dibuat di tengah masyarakat berpotensi “misleading” atau tidak sesuai dengan kebenaran.
“Nah itu yang berbahaya, karena masyarakat nanti teralihkan pandangannya,” jelasnya.
Oleh sebab itu, generasi Z dan milenial perlu memahami literasi siber untuk bisa secara jernih membaca isu dan opini yang berkembang. Dengan literasi siber, masyarakat akan lebih mencermati, mengelaborasi, serta mendalami apa yang disampaikan oleh para politisi.
“Apakah itu sesuai, apakah janji-janjinya itu memang dapat diterima. Nah itu melalui literasi siber,” tegas Salahuddin.
Advertisement