Hasil Survei: Lebih dari Separuh Gletser di Peru Mencair Akibat Perubahan Iklim

Peru telah kehilangan 56 persen gletser tropisnya dalam enam dekade terakhir akibat perubahan iklim, menurut hasil pendataan terbaru pemerintah yang diterbitkan pada Kamis (23/11).

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Nov 2023, 11:05 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2023, 11:05 WIB
Gletser Austria
Ilustrasi gletser di Tyrol, Austria. (Unsplash.com/Alexander Kaufmann)

Liputan6.com, Jakarta - Peru telah kehilangan 56 persen gletser tropisnya dalam enam dekade terakhir akibat perubahan iklim, menurut hasil pendataan terbaru pemerintah yang diterbitkan pada Kamis (23/11).

“Gletser di 18 pegunungan di negara ini telah menipis hingga seluas 1.050 kilometer persegi. Ini artinya kita telah kehilangan 56 persen wilayah gletser dalam periode 58 tahun ini,” ungkap Jesus Gomez, direktur penelitian gletser di Kementerian Lingkungan Hidup Peru.

Sebanyak 68 persen gletser tropis dunia berada di Peru dan menghangatnya suhu udara telah menyebabkan pencairan dan pembentukan laguna pegunungan baru yang berisiko meluap dan banjir, menurut Institut Nasional Penelitian Gletser dan Ekosistem Gunung.

Laporan itu menggunakan citra satelit hingga tahun 2020, yang menunjukkan bahwa gletser menutupi 1.050 kilometer persegi wilayah di Peru, menyusut dari 2.399 kilometer persegi pada tahun 1962, dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (25/11/2023).

“Saya ingin mengingatkan Anda bahwa meskipun kita tidak dapat menghindari hilangnya gletser dari tahun ke tahun, kita dapat mengurangi kecepatannya,” ungkap Menteri Lingkungan Peru Albina Ruiz.

Hampir semua gletser tropis di Peru berada pada ketinggian di atas 6.000 meter di atas permukaan laut, sedangkan laguna baru berada pada ketinggian antara 4.000 dan 5.000 meter, ungkap laporan itu. Hampir 20 juta orang Peru mendapat manfaat langsung maupun tidak langsung dari air yang berasal dari gletser, menurut laporan tersebut.

PBB: 347 Juta Anak di Asia Selatan Menghadapi Krisis Air Terburuk di Dunia

Anak-anak Delhi paling terkena dampak kabut asap
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Lung India pada tahun 2021 menemukan hampir satu dari setiap tiga anak sekolah di Delhi menderita asma dan gangguan aliran udara. (Arun SANKAR / AFP)

Bicara soal perubahan iklim, banyak anak di wilayah Asia Selatan menghadapi kesulitan yang signifikan akibat kekurangan air yang parah, yang diperburuk oleh dampak perubahan iklim. Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh PBB pada hari Senin dan menyoroti bahwa situasi di sana lebih sulit dibandingkan dengan negara-negara lain di seluruh dunia.

Menurut laporan badan anak-anak PBB, sekitar 347 juta anak di Asia Selatan, yang berusia di bawah 18 tahun, menghadapi tingkat kelangkaan air yang tinggi atau bahkan sangat tinggi. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain di dunia.

Melansir dari Phys.org, delapan negara yang mencakup Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Nepal, Maladewa, Pakistan, dan Sri Lanka, menjadi tempat tinggal bagi lebih dari seperempat dari jumlah total anak-anak di seluruh dunia.

"Perubahan iklim mengganggu pola cuaca dan curah hujan, menyebabkan ketersediaan air tidak dapat diprediksi," demikian yang diungkapkan PBB dalam laporannya.

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa masalah kualitas air yang buruk, kekurangan pasokan air, dan praktik pengelolaan yang kurang tepat, seperti pemompaan berlebihan terhadap akuifer, semakin diperparah oleh perubahan iklim yang mengurangi jumlah air yang dapat mengisi kembali akuifer tersebut.

UNICEF menambahkan bahwa ketika sumur-sumur di desa mengalami kekeringan, dampaknya dirasakan oleh rumah-rumah, pusat kesehatan, dan sekolah di sekitarnya.

"Dengan iklim yang semakin tidak dapat diprediksi, kelangkaan air diperkirakan akan menjadi lebih buruk bagi anak-anak di Asia Selatan."

Upaya UNICEF di COP28

Logo resmi COP28. (Official COP28)
Logo resmi COP28. (Official COP28)

Dalam konferensi iklim PBB COP28 di Dubai bulan Desember, UNICEF menyatakan niatnya untuk mendesak para pemimpin agar berupaya menjaga Bumi ini sebagai tempat yang layak untuk ditinggali.

"Air yang aman adalah hak asasi manusia," ujar Sanjay Wijesekera, kepala UNICEF untuk Asia Selatan.

"Namun jutaan anak di Asia Selatan mengalami kekurangan air minum di daerah yang terkena banjir, kekeringan, dan peristiwa cuaca ekstrem lainnya, yang semakin diperparah oleh dampak perubahan iklim," tambahnya.

Tahun lalu, 45 juta anak di Asia Selatan tidak bisa mengakses layanan dasar air minum, jumlah ini lebih tinggi daripada di wilayah lain. Meski demikian, UNICEF menyebutkan bahwa layanan ini mengalami perkembangan pesat, dan diperkirakan jumlah anak yang terdampak akan berkurang setengahnya pada tahun 2030.

Di belakang Asia Selatan terdapat Afrika Timur dan Selatan, dengan 130 juta anak yang berisiko mengalami kelangkaan air yang parah, demikian disampaikan dalam laporan tersebut.

UNICEF: 43 Juta Anak Mengungsi ke 44 Negara Akibat Bencana Imbas Perubahan Iklim

Global Climate Strike 2023
Aktivis iklim berpartisipasi dalam Climate Justice March yang menuntut diakhirinya bahan bakar fosil di Lalitpur, Nepal, Sabtu (16/9/2023). Ada perwakilan dari lebih dari 80 negara yang ikut serta dalam COP28, mereka didesak mendorong perjanjian global untuk secara bertahap menghapuskan batu bara, minyak, dan gas yang menjadi penyebab utama perubahan iklim. (AP Photo/Niranjan Shrestha)

Sebelumnya UNICEF melaporkan bahwa bencana cuaca yang dipicu oleh perubahan iklim – mulai dari banjir hingga kekeringan, badai hingga kebakaran hutan – memicu 43,1 juta anak mengungsi dari tahun 2016 hingga 2021, UN Children's Fund (Dana Anak-Anak PBB) memperingatkan pada hari Kamis 4 Oktober 2023 sekaligus mengecam kurangnya perhatian yang diberikan kepada para korban.

Dalam laporan komprehensif mengenai masalah tersebut, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan kisah-kisah yang sangat menyayat hati tentang beberapa anak yang terdampak.

Laura Healy, salah satu co-author, menyebut kepada AFP bahwa data ini baru sebagian kecil dari keseluruhan masalah, dan banyak anak lainnya kemungkinan juga terdampak.

"Kami membawa barang-barang kami ke tepi jalan dan tinggal di sana selama beberapa minggu," kisah Khalid Abdul Azim, seorang anak Sudan yang tinggal di desa yang tergenang banjir dan hanya dapat dijangkau dengan perahu.

Pada tahun 2017, kakak beradik Mia dan Maia Bravo menyaksikan api melahap trailer mereka di California dari bagian belakang minivan keluarga.

"Aku takut, terkejut. Aku akan begadang sepanjang malam," kata Maia dalam laporan tersebut.

Melansir dari France24, statistik mengenai pengungsi internal akibat bencana iklim umumnya tidak memperhitungkan usia para korban. Namun, UNICEF bekerja sama dengan Internal Displacement Monitoring Center yang bersifat non-pemerintah untuk mengurai data dan mengungkap dampak tersembunyi pada anak-anak.

Antara tahun 2016 hingga 2021, laporan tersebut menyebutkan bahwa empat jenis bencana iklim (banjir, badai, kekeringan, dan kebakaran hutan) yang semakin sering terjadi akibat pemanasan global telah menyebabkan 43,1 juta anak terpaksa mengungsi di 44 negara. Sebanyak 95 persen pengungsian itu disebabkan oleh banjir dan badai.

Infografis Journal
Infografis Journal Dunia Kepanasan, Akibat Perubahan Iklim Ekstrem?. (Liputan6.com/Tri Yasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya