Respons Warga Gaza atas Demo Pro-Palestina di Kampus-kampus AS: Terima Kasih, Pesan Anda Sampai pada Kami

Hingga berita ini diturunkan, demo pro-Palestina di universitas-universitas Amerika Serikat masih berlangsung. Para mahasiswa berkemah di lingkungan kampus.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 30 Apr 2024, 10:01 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2024, 10:01 WIB
Kemah Pro Palestina Bermunculan di Kampus-Kampus AS
Aksi ini terjadi usai terjadi bentrokan antara polisi dan mahasiswa di Universitas Columbia, New York, saat aksi unjuk rasa mendukung Gaza. (Matthew Hatcher/Getty Images North America/Getty Images via AFP)

Liputan6.com, Gaza - Anak-anak Palestina di Jalur Gaza mengungkapkan rasa terima kasih atas dukungan para mahasiswa di kampus-kampus Amerika Serikat (AS) dalam beberapa minggu terakhir.

Melansir CNN, Senin (29/4/2024), video dari kamp pengungsi Shaboura di Kota Rafah menunjukkan anak-anak Palestina pada Minggu (28/4) memegang spanduk bertuliskan pesan: "Mahasiswa Columbia University, teruslah mendukung kami".

Tulisan lainnya berbunyi, "Melanggar hak kami atas pendidikan dan kehidupan adalah kejahatan perang."

Anak-anak Palestina itu berkumpul di sekitar tenda darurat di dekat sebuah sekolah yang sekarang berfungsi sebagai tempat penampungan bagi warga Gaza Utara.

Rekaman juga menunjukkan orang-orang melukiskan pesan ucapan terima kasih di tenda mereka.

"Terima kasih para mahasiswa atas solidaritas terhadap Gaza. Pesan Anda telah sampai (kami)," bunyi salah satu pesan.

Takfeer Abu-Yousuf, seorang mahasiswa yang mengungsi dari Beit Hanoun di Gaza Utara, mengatakan kepada CNN dari kamp tersebut bahwa dia merasa perlu untuk berterima kasih kepada para mahasiswa di AS yang mendukung mereka dengan rasa kemanusiaan.

"Itu adalah pesan terima kasih di tenda kami, tenda yang tidak melindungi kami dari panas dan dingin. Setidaknya yang bisa kami lakukan adalah berterima kasih kepada mereka. Kami tidak dapat menuliskan pesan terima kasih ini di dinding rumah kami karena kami tidak memiliki rumah. Mereka telah dihancurkan, termasuk anak-anak, orang tua, dan perempuan kami," ujarnya.

Rana Al-Taher yang berusia 18 tahun menunjuk ke sekolah di kamp tersebut seraya mengatakan kepada CNN bahwa apa yang seharusnya menjadi tempat belajar dan pendidikan telah menjadi tempat berlindung.

"Itu artinya kami kehilangan pendidikan. Kami telah kehilangan satu-satunya harapan kami di Gaza dan kami menginginkannya kembali," kata dia.

Curhat Mahasiswa Gaza

Potret Anak-anak dan Perempuan di Gaza
Seorang wanita Palestina bersama seorang anak berdiri di depan puing-puing rumah yang hancur akibat pengeboman Israel di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada 6 Maret 2024. (Foto oleh AFP)

Menurut PBB, telah terjadi "serangan langsung" terhadap lebih dari 200 sekolah di Jalur Gaza sejak pengeboman Israel dimulai pada 7 Oktober 2023. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan bahwa tidak ada pendidikan sama sekali yang terjadi di Gaza selama hampir enam bulan terakhir.

Dalam laporan baru-baru ini, para ahli PBB mengecam "penghancuran sistemik" terhadap sistem pendidikan Gaza.

"Serangan yang terus-menerus dan tidak berperasaan terhadap infrastruktur pendidikan di Gaza memiliki dampak jangka panjang yang menghancurkan terhadap hak-hak dasar masyarakat untuk belajar dan bebas berekspresi, sehingga merampas masa depan generasi Palestina berikutnya," kata para ahli PBB.

Mahasiswa tahun pertama Bayan Al-Fiqhi mengisahkan kepada CNN bahwa dia belum bisa menghadiri kuliahnya di universitasnya di Kairo sejak perang dimulai dan sangat para menghargai mahasiswa di AS karena melakukan protes sebagai wujud solidaritas mereka.

"Kami berharap mereka menambah tekanan pada Israel dan AS untuk menghentikan pertumpahan darah yang terjadi di Jalur Gaza dan mencegah invasi ke Rafah," tutur al-Fiqhi.

Nasib Rafah telah menggantung 1,3 juta warga Palestina yang mengungsi di sana. Ada spekulasi selama berminggu-minggu mengenai kapan Israel akan memulai operasi militernya ke kota tersebut. PBB telah berulang kali memperingatkan terhadap invasi darat Israel, dengan mengatakan serangan dapat menyebabkan pembantaian di wilayah Gaza Selatan.

Nowar Diab (21) mengatakan kepada CNN bahwa dia menyesali dampak pengeboman Israel di Gaza terhadap aktivitas akademisnya.

"Saya seharusnya lulus tahun ini. Saya belajar sastra Inggris dan Prancis di Universitas Al-Azhar, namun Universitas Al-Azhar dibombardir … perang ini seperti perbatasan antara saya dan impian saya serta awal karier saya," ungkap Diab.

"Hari ini saya berdiri di sini untuk memberitahu seluruh dunia bahwa kami, mahasiswa Gaza, mengalami kesakitan dan penderitaan setiap hari."

Diab mengatakan meskipun perang Israel sangat brutal, ketangguhan dan tekad mahasiswa Gaza untuk bertahan terlihat jelas di mata dunia.

Doa untuk Perdamaian

Potret Anak-anak dan Perempuan di Gaza
Warga Palestina mengungsi melalui jalan di dekat reruntuhan rumah yang hancur di Khan Yunis, Jalur Gaza selatan pada 6 Maret 2024. Kementerian Kesehatan Gaza mendesak institusi internasional untuk mendukung keperluan hidup, kesehatan, psikologis, dan sosial perempuan Palestina, terutama di Jalur Gaza. (Foto oleh AFP)

Di tempat lain di Gaza, puluhan umat Kristen Palestina merayakan Minggu Palma dengan menghadiri misa di Gereja Saint Porphyrius, yang tertua di Kota Gaza.

Laporan CNN menyebutkan video-video menunjukkan pria, wanita, anak-anak, dan orang tua melantunkan doa-doa di dalam gereja, meminta perdamaian di Gaza.

Warga Kota Gaza, Khader Nasrawi, yang menghadiri perayaan gereja tersebut, menuturkan kepada CNN bahwa dia berharap "hari esok yang lebih baik".

"Kami merayakan libur tahun ini dengan rasa sakit dan luka di hati kami karena kehilangan orang yang kami cintai dan rumah kami selama perang brutal ini … Kami meminta dunia untuk memberi kami kedamaian karena kami adalah orang-orang yang cinta damai. Yesus Kristus menyerukan perdamaian dan cinta, seperti yang dilakukan semua agama lainnya," kata Nasrawi.

Warga lainnya, Ihab Ayad, mengungkapkan kepada CNN bahwa dia terluka akibat serangan udara Israel yang menghantam kampus gereja tersebut pada Oktober tahun lalu.

Ayab mengatakan, terlepas dari apa yang telah dia lalui, dia tetap "bersatu dan teguh" dengan komunitas Palestina.

"Libur kali ini berbeda bagi kami karena tragedi perang yang menimpa rakyat Palestina, baik yang beragama Kristen maupun Islam. Penjajahan tidak membedakan antara Kristen atau Islam, ini adalah serangan kriminal," imbuhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya