Mengenal Sekolah Perempuan di NTT: Mama-mama Belajar Berani Bersuara Lawan Kekerasan Terhadap Wanita dan Anak

Mama Dina berbagi cerita. Beberapa tahun silam dirinya pernah jadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 28 Jun 2024, 13:04 WIB
Diterbitkan 28 Jun 2024, 13:04 WIB
Pada agenda pertemuan rutin di Sekolah Perempuan, Rabu (26/6/2024) sore, Mama Dina datang pakai baju biru, kalung warna emas dan makin cantik dengan model ikat rambut cepol belakang (Dok. Liputan6.com/Teddy Tri Setio Berty).
Pada agenda pertemuan rutin di Sekolah Perempuan, Rabu (26/6/2024) sore, Mama Dina datang pakai baju biru, kalung warna emas dan makin cantik dengan model ikat rambut cepol belakang (Dok. Liputan6.com/Teddy Tri Setio Berty).

Liputan6.com, Tanah Merah - Mama Dina Anone (58) tahun jadi sosok yang begitu dikenal oleh kaum ibu-ibu di Sekolah Perempuan yang ada di desa Tanah Merah, Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pada agenda pertemuan rutin, Rabu (26/6/2024) sore, wanita yang akrab disapa dengan Dina itu datang pakai baju biru, kalung warna emas dan makin cantik dengan model ikat rambut cepol belakang.

Senyuman mama Dina saat berbicara di hadapan ibu-ibu lainnya benar-benar menggambarkan sosok dirinya yang begitu kuat, terutama dalam membela hak kaum perempuan.

Mama Dina berbagi cerita. Beberapa tahun silam dirinya pernah jadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Saat itu, Sekolah Perempuan belum ada. Tapi ia mengaku berani berbuat sesuatu untuk membela dirinya sendiri.

"Saya pernah secara pribadi dengan suami, belum ada Sekolah Perempuan, mengalami kekerasan terhadap diri saya. Saya merasa diri saya harus lapor. Saya lapor sampai ke Polres. Di sana ada bidang perempuan yang dampingi saya untuk lanjutkan proses hukumnya. Untuk beri pelajaran ke suami saya untuk stop di sini saja."

"Ketika itu darah mengalir keluar dari tubuh, jadi saya lanjut saja (proses hukum). Dari situ baru mereka tau (suami) siapa diri kita. Setelah selesai itu, ada Sekolah Perempuan saya semakin berani tidak boleh berdiam diri."

Sekarang mama Dina tidak berjuang untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain. Terutama apabila menemukan kasus kekerasan terhadap anak.

"Itu saya langsung selesaikan. Kadang mereka (orang tua) kasarin anak balita dengan kata-kata yang kurang bagus, saya tidak senang. Saya benar-benar tidak senang. Saya bilang akan lapor kamu (pelaku) jika tidak berubah."

Tidak hanya berani dalam melawan kekerasan, para mama-mama di Sekolah Perempuan ini kini mendapatkan hak yang semestinya mereka miliki yaitu memiliki 'Suara'.

 

Mama Dina: Perempuan di Desa Kini Dilibatkan

Para mama-mama di Sekolah Perempuan, Desa Tanah Merah, Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyanyi bersama dalam pertemuan rutin, Rabu 26 Juni 2024 (Dok. Liputan6.com/Teddy Tri Setio Berty).
Para mama-mama di Sekolah Perempuan, Desa Tanah Merah, Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyanyi bersama dalam pertemuan rutin, Rabu 26 Juni 2024 (Dok. Liputan6.com/Teddy Tri Setio Berty).

Mama Dina mengaku, "...dulu jika ada urusan adat atau urusan apapun, kami tidak pernah dilibatkan. Tapi Puji Tuhan, saat ada Sekolah Perempuan, kami memberanikan diri untuk mengambil keputusan bersama dengan kaum laki-laki di desa."

"Awalnya, kami tidak bisa untuk hadir dalam satu kegiatan pun. Sosok yang dipandang hanya 'Bapak'. Kami 'Mama' tidak diundang."

"Biasanya kalau kami datang ke satu agenda, mereka dibilang: Ini pemahaman para laki-laki."

"Ketika ikut sekolah perempuan ini kami justru berani untuk menantang bapak-bapak," kata Mama Dina disambut tawa oleh para mama-mama lainnya yang ikut di Sekolah Perempuan.

Mam Dina mengaku jika kini kaum perempuan di desanya sudah siap melapor jika ada satu permasalahan. Tidak bisa lagi dilarang oleh suami-suami.

"Kami juga diajarkan ambil keputusan dengan bijak," ujar mama Dina.

"Ada beberapa di desa kami yang sudah jadi perempuan. Baik itu RT atau RW sudah ada perempuan yang memimpin di sana."

"Puji Tuhan karena kami sudah dibina, kini bisa lebih maju. Kami tantang kekerasan. Di desa kami ini juga tidak ada lagi kekerasan terhadap anak-anak."

Dulu sebelum ada Sekolah Perempuan, mama Dina menyebut ada banyak kasus kekerasan, baik itu dari bapak ke anak, suami terhadap istri dan baik pula istri kepada suami.

"Puji Tuhan, kini situasi damai sejahtera. Walaupun masih ada beberapa kasus suami pukul istri, tapi si istri tak mau lapor karena masih sayang ke suami, tapi tidak sayang diri sendiri," kata mama Dina.

"Ini yang belum terselesaikan. Tapi kami yakin ke depan paham ini dan bekerja lebih lagi."

Seputar Sekolah Perempuan di Tanah Merah, Kupang Tengah

Sekolah Perempuan di desa Tanah Merah, Kupang Tengah, NTT ini berfokus pada pemberdayaan perempuan (Dok. Liputan6.com/Teddy Tri Setio Berty).
Sekolah Perempuan di desa Tanah Merah, Kupang Tengah, NTT ini berfokus pada pemberdayaan perempuan (Dok. Liputan6.com/Teddy Tri Setio Berty).

Kunjungan enam jurnalis dari berbagai media di Indonesia ke Desa Tanah Merah untuk belajar tentang kegiatan KAPAL Perempuan dan PEKA-PM ke Sekolah Perempuan merupakan bagian dari agenda yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta.

Sekolah Perempuan di desa Tanah Merah, Kupang Tengah, NTT ini berfokus pada pemberdayaan perempuan.

Contoh kegiatan yang dilakukan di desa ini termasuk pendirian Pos Pengaduan untuk mendukung kelompok-kelompok yang terpinggirkan yang mencari perlindungan dari kekerasan, akses terhadap dokumen identitas hukum, pembangunan desa yang inklusif, dan dukungan mata pencaharian.

Selama kunjungan, para jurnalis (termasuk Liputan6.com) belajar tentang Pos Pengaduan dan simulasi pembelajaran Sekolah Perempuan.

Menurut Deputy Director and Community Facilitator dari PEKA-PM Yerni Selly, sejak saat Sekolah Perempuan didirikan, ada total 555 aduan.

Untuk periode April 2023 sampai Mei 2024, ada 385 aduan yang meliputi permintaan warga desa (termasuk kaum perempuan) dalam mengurus KIA, Akte Kelahiran, Kartu Keluarga. Akte Kematian hingga KTP.

Yerni Selly menyebut bahwa Sekolah Perempuan di desa Tanah Merah ini juga mampu mendukung penduduk untuk tetap berdaya, mendapatkan akses pelayanan seperti kesehatan, lantaran itu adalah hak mereka.

"Namun faktanya, banyak warga tak punya dokumen resmi yang dicatat. Jadi sulit bagi mereka menerima hak tersebut. Pos Pengaduan ini kemudian bekerja membantu warga desa, terutama perempuan," kata Yerni.

Sementara itu, pada periode Januari-Mei 2024, ada penurunan aduan dengan jumlah sekitar 170. Yerni menyebut penurunan aduan ini menggambarkan bahwa program ini sukses dan bermanfaat bagi penduduk.

 

Program INKLUSI: Kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia

Program Sekolah Perempuan di desa Tanah Merah, Kupang Tengah, NTT ini termasuk dalam bukti nyata kemitraan Australia-Indonesia menuju masyarakat Inklusif (Dok. Liputan6.com/Teddy Tri Setio Berty).
Program Sekolah Perempuan di desa Tanah Merah, Kupang Tengah, NTT ini termasuk dalam bukti nyata kemitraan Australia-Indonesia menuju masyarakat Inklusif (Dok. Liputan6.com/Teddy Tri Setio Berty).

Program Sekolah Perempuan di desa Tanah Merah, Kupang Tengah, NTT ini termasuk dalam bukti nyata kemitraan Australia-Indonesia menuju masyarakat Inklusif.

Lewat program INKLUSI ini kedua negara berupaya untuk meningkatkan partisipasi kelompok-kelompok yang terpingirkan dalam pembangunan sosial-budaya, ekonomi, dan politik di Indonesia, serta manfaat yang mereka peroleh dari pembangunan tersebut.

INKLUSI adalah program Pemerintah Australia yang berdurasi delapan tahun (2021-2029) senilai 120 juta dolar Australia.

Program ini bertujuan untuk memperkuat kontribusi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), melalui kemitraan dengan pemerintah, untuk meningkatkan kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial bagi kelompok marginal atau yang terpinggirkan di Indonesia.

INKLUSI dilaksanakan oleh 11 mitra OMS Indonesia (termasuk organisasi perempuan dan gerakan sosial, organisasi berbasis agama, Organisasi Penyandang Disabilitas/OPD – 'Aisyiyah, BaKTI, KAPAL Perempuan, Kemitraan, Migrant Care, PEKKA, PKBI, SIGAB, PERMAMPU, LAKPESDAM NU, dan PR YAKKUM) serta jaringannya.

Sebelas OMS ini, bersama dengan 120 lebih sub-mitranya, bekerja sama dengan pemerintah daerah dan nasional, di lebih dari 650 desa, 120 lebih kabupaten dan 32 provinsi.

Infografis Sejarah Hari Perempuan Internasional
Infografis Sejarah Hari Perempuan Internasional. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya