Liputan6.com, Seoul - Setiap tahun, ribuan orang Korea Selatan – sebagian besar pria paruh baya – meninggal dengan tenang dan sendirian, terpisah dari keluarga dan teman-teman mereka. Terkadang butuh waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu sebelum jasad mereka ditemukan.
Inilah yang disebut sebagai "kematian karena kesepian" di negara itu atau yang dikenal sebagai godoksa dalam bahasa Korea. Ini merupakan bagian dari masalah kesepian dan keterasingan yang lebih besar di seluruh negeri, sebuah isu yang begitu mendesak sehingga pemerintah mengerahkan segala upaya untuk mengatasinya.
Advertisement
Baca Juga
Di Seoul yang ramai, pemerintah kota mengumumkan pekan ini bahwa mereka akan menghabiskan 451,3 miliar won atau sekitar Rp5 triliun (dengan nilai tukar 1 won sama dengan Rp11.2814) selama lima tahun ke depan untuk "menciptakan kota di mana tidak ada seorang pun yang kesepian".
Advertisement
Menurut Pemerintah Metropolitan Seoul, inisiatif baru mereka termasuk konselor kesepian yang tersedia di hotline 24/7, platform online untuk konseling serupa, serta langkah-langkah tindak lanjut termasuk kunjungan dan konsultasi langsung.
"Kesepian dan keterasingan bukan hanya masalah individu, namun tugas yang harus diselesaikan masyarakat bersama-sama," kata Wali Kota Seoul Oh Se-hoon seperti dilansir CNN, Sabtu (26/10/2024).
"Kota ini akan memobilisasi semua kapasitas kota untuk membantu orang-orang yang kesepian pulih dan kembali ke masyarakat."
Kota ini juga berencana memperkenalkan layanan psikologis dan ruang hijau yang diperluas; rencana makan bergizi untuk penduduk setengah baya dan lanjut usia; sistem pencarian khusus untuk mengidentifikasi penduduk terisolasi yang membutuhkan bantuan; dan kegiatan untuk mendorong orang-orang untuk keluar dan terhubung dengan orang lain, seperti berkebun, olahraga, klub buku, dan banyak lagi.
Ribuan Kematian Karena Kesepian
Masalah kesepian telah mendapatkan perhatian nasional selama dekade terakhir seiring dengan meningkatnya jumlah masalah terkait – seperti orang-orang muda yang menarik diri dari dunia dan menghabiskan hari-hari mereka terisolasi di rumah, seringkali selama berbulan-bulan. Fenomena yang di Jepang dikenal dengan istilah "hikikomori" ini semakin umum terjadi; Korea Selatan diperkirakan memiliki hingga 244.000 orang yang terasing pada tahun 2022.
Jumlah kematian karena kesepian juga meningkat, yakni mencapai 3.661 tahun lalu, naik dari 3.559 pada tahun 2022 dan 3.378 pada tahun 2021. Demikian menurut angka terbaru Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan yang dirilis pekan lalu.
Sebagian dari peningkatan itu disebut bisa jadi adalah definisi baru yang lebih luas dari kementerian untuk "kematian karena kesepian". Sementara pada tahun-tahun sebelumnya jenazah harus ditemukan hanya setelah "jangka waktu tertentu" untuk memenuhi syarat sebagai "kematian karena kesepian", istilah tersebut sekarang berlaku untuk siapa saja yang hidup dalam isolasi sosial, terputus dari keluarga atau kerabat, dan meninggal karena bunuh diri atau sakit.
Faktor lain di balik peningkatan itu bisa jadi adalah krisis demografi. Populasi yang menua dan angka kelahiran yang menurun berarti ada lebih banyak kematian daripada kelahiran dalam beberapa tahun terakhir.
Angka kematian di Korea Selatan secara keseluruhan meningkat – dan itu termasuk kematian karena kesepian.
Menurut Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan, lebih dari 84 persen kematian karena kesepian yang tercatat tahun lalu adalah pria, lebih dari lima kali lipat jumlah kematian wanita. Pria berusia 50-an dan 60-an mencakup lebih dari separuh kelompok keseluruhan, membuat mereka sangat rentan terhadap risiko meninggal sendirian.
Apa yang Membuat Orang Korea Begitu Kesepian?
"Kesepian bukanlah hal yang unik bagi Korea Selatan dan sulit untuk mengatakan bahwa orang Korea lebih kesepian dibandingkan yang lain," kata profesor psikologi An.
Namun, ketika ditanya tentang apa yang membuat mereka merasa kesepian An menjawab, "Ada beberapa perbedaan dibandingkan dengan negara lain."
"Di beberapa budaya, kesepian dipandang sebagai perasaan yang terjadi ketika hubungan tidak memuaskan," tutur An. "Di Korea, orang mengatakan mereka merasa sangat kesepian ketika mereka merasa tidak cukup berharga atau tidak memiliki tujuan."
Sentimen itu juga digaungkan oleh para ahli lainnya - di mana salah satu ahli sebelumnya mengatakan kepada CNN bahwa banyak orang Korea dari Generasi Milenial dan Generasi Z yang sensitif terhadap kritikan, namun terlalu kritis terhadap diri sendiri dan takut gagal.
Sebuah studi dari bulan Juni tahun ini menemukan bahwa epidemi kesepian mencerminkan nuansa dalam budaya Korea, yang menekankan orientasi relasional - atau orang-orang yang mendefinisikan diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan orang lain di sekitar mereka.
"Akibatnya, warga Korea Selatan mungkin merasa sangat kesepian atau merasa gagal jika mereka merasa tidak memberikan dampak yang signifikan pada orang lain atau masyarakat," kata studi itu.
Menurut An, ini adalah perbedaan besar dari negara lain.
"Warga Korea mungkin memiliki kehidupan sosial yang berkembang dan hubungan yang dekat dengan orang lain, namun mereka mungkin masih merasa kesepian ketika mereka membandingkan diri mereka dengan orang lain dan mempertanyakan apakah mereka berguna, cukup berkontribusi pada masyarakat, atau tertinggal," ungkap An.
Studi tersebut juga mengidentifikasi faktor-faktor lain seperti meningkatnya jumlah rumah tangga satu orang (mengacu pada pengaturan tempat tinggal di mana seorang individu tinggal sendirian tanpa anggota keluarga lainnya), penurunan interaksi sosial di luar pekerjaan dan keluarga, dominasi media sosial dan bagaimana hal itu menumbuhkan perasaan ketidakcukupan, serta budaya kompetitif Korea Selatan yang berorientasi pada pencapaian, yang mendorong perasaan kesepian di antara mereka yang gagal mencapai tujuan mereka sendiri.
"Ketika kita semua mengejar nilai-nilai yang sama secara berlebihan, kita akhirnya kehilangan diri kita sendiri," kata An. "Masyarakat kita menuntut kehidupan sosial yang sangat kolektif, namun sering kali gagal menghormati individu – yang berarti orang berjuang untuk mengatasi kesendirian atau perasaan gagal."
Advertisement
Upaya Pemerintah
Otoritas Korea Selatan telah meluncurkan berbagai inisiatif selama bertahun-tahun untuk memerangi isu ini, termasuk Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Kematian Akibat Kesepian yang memerintahkan pemerintah menyusun rencana pencegahan yang komprehensif dan laporan situasi lima tahunan.
Pada tahun 2023, pemerintah mengeluarkan amandemen yang menjadikan beberapa pemuda penyendiri berhak atas dukungan finansial, termasuk hingga 650 ribu won atau sekitar Rp7,3 per bulan untuk biaya hidup, guna membantu mereka kembali ke masyarakat.
Korea Selatan tidak sendirian dalam memerangi masalah ini.
Jepang, tempat tren hikikomori pertama kali dikenali dan dipelajari secara mendalam, menunjuk seorang menteri kesepian dan isolasi pada tahun 2021. Tahun berikutnya, pemerintah merilis rencana penanggulangan intensif termasuk layanan konsultasi 24/7 dan perluasan program konseling dan kerja sosial.
Negara-negara lain, termasuk Inggris, juga telah menunjuk menteri kesepian. Ahli Bedah Umum Amerika Serikat memperingatkan tentang wabah kesepian dan keterasingan dalam sebuah pesan tahun 2023, mendesak langkah-langkah seperti membangun infrastruktur sosial yang lebih kuat dan mengatur platform daring.
Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan komisi untuk memerangi kesepian pada tahun 2023, menyebutnya sebagai "ancaman kesehatan yang mendesak".
Namun, An mengatakan dia meragukan apakah sekadar memperluas koneksi fisik akan menyelesaikan masalah kesepian secara mendasar.
"Itu bukan sesuatu yang dapat dengan mudah diubah oleh satu kebijakan," tutur An. "Karena ada faktor-faktor kompleks yang spesifik secara budaya yang berperan, perubahan yang lebih besar mungkin diperlukan agar individu dapat mengembangkan kekuatan untuk sendirian dan menghadapi diri mereka sendiri."
"Kita perlu mengembangkan kemampuan untuk peduli pada diri sendiri dan orang lain."
Â