Siapa Pemilik Puncak Gunung Fuji?

Selain sebagai tempat wisata, Gunung Fuji juga dikenal sebagai lokasi sakral dan bernuansa keagamaan, karena berdiri Kuil Okumiya di puncaknya.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 13 Des 2024, 01:00 WIB
Diterbitkan 13 Des 2024, 01:00 WIB
Indahnya Pemandangan Puncak Gunung Fuji yang Kembali Diselimuti Salju
Pemandangan puncak Gunung Fuji, salah satu ikon Jepang yang terkenal dengan puncaknya yang tertutup salju, akhirnya kembali bisa dinikmati. (Richard A. Brooks/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Gunung Fuji terletak di dekat pantai Samudra Pasifik di Yamanashi dan Shizuoka ken (prefektur) di pusat Honshu. Gunung Fuji adalah gunung tertinggi di Jepang. Tinggi Gunung Fuji sekitar 12.388 kaki (3.776 mdpl).

Gunung berapi ini sudah tidak aktif sejak letusan terakhir pada tahun 1707. Walaupun tidak meletus sejak 1707, Fuji secara umum masih diklasifikasikan sebagai gunung berapi aktif oleh para ahli geologi.

Menurut sejarah, gunung yang sama terbentuk pada tahun 286 sebelum Masehi akibat terjadi gempa bumi. Banyak pihak mengatakan Fuji sudah terbentuk lebih dari 2,6 juta tahun di atas dasar yang berasal dari 65 juta tahun yang lalu.

Letusan pertama dilaporkan terjadi sekitar 700.000 tahun yang lalu. Gunung Fuji adalah gunung berapi stratovolcano, muncul sekitar 400.000 tahun lalu di antara puncak Komitake dan Ashitaka-yama.

Selain sebagai tempat wisata, Gunung Fuji juga dikenal sebagai lokasi sakral dan bernuansa keagamaan, karena berdiri Kuil Okumiya di puncaknya. Meski merupakan tempat terkenal bagi publik, Gunung Fuji ternyata bukan tempat wisata umum yang seluruhnya dimiliki pemerintah.

Dikutip dari laman Britannica pada Kamis (12/12/2024), tujuh tingkat Gunung Fuji atau tepatnya hingga ketinggian 3.360 mdpl merupakan milik pemerintah Jepang.

Namun, dari tingkat kedelapan hingga puncak atau 3.360-3.776 mdpl merupakan tanah pribadi milik kuil agama Shinto, Fujisan Hongu Sengen Taisha. Kuil ini memiliki lebih dari 1.300 bangunan di Negeri Sakura tersebut.

Kepemilikan sempat menjadi konflik di zaman Meiji. Pemerintah Meiji ingin mengambil alih dan menasionalisasi gunung tersebut pada 1871 sebagai bagian dari perlindungan warisan negara.

 

Memperjuangkan Puncak Wilayah

Kuil Fujisan Hongu Sengen Taisha memperjuangkan puncak wilayah tersebut ke pengadilan hingga sah mendapatkan kembali kepemilikan terhadap puncak Fuji pada 2004. Melansir laman resmi Japan National Tourism pada Kamis (12/12/2024), tanah Gunung Fuji terabaikan pada masa kekuasaan kaisar ketujuh Kohrei (290-215 SM) setelah gunung itu meletus.

Kaisar kesebelas, Suijin (97–30 SM) baru bisa mengabadikan dewa agama Shinto, Asama no ohkami di kaki gunung. Barulah pada masa pemerintahan kaisar kedua belas Keikoh (71–130 M) dewa diabadikan di gunung tersebut. Kaisar kelima puluh satu, Heizei (806-809) memerintahkan pembangun kuil agung baru di puncak Gunung Fuji yang sekarang menjadi Kuil Ohmiya.

Sejak saat itu, kuil tersebut menjadi semakin luas dan kaya. Pada 1604, untuk memperingati penaklukan Jepang dan pengangkatannya sebagai shogun atau jenderal oleh kaisar, Tokugawa Ieyasu membangun kuil baru yang lebih luas di wilyah tersebut.

pada 1606, Tokugawa menyumbangkan area tersebut ke pihak Kuil Fujisan Hongu Sengen Taisha. Kuil itu terus berfungsi pada zaman Edo hingga 1868. Namun, Kaisar Meiji kemudian mengambil alih kekuasaan Jepang.

Pada 1871, pemerintah Meiji menguasai banyak tanah di seluruh negeri, termasuk kuil di Gunung Fuji. Mereka berniat mengubah kuil menjadi milik publik.

Kuil Sengen Taisha membawa kasus ini ke pengadilan. Pihak kuil bersikeras bahwa tanah tersebut adalah tempat spiritual yang penting bagi mereka. Akhirnya, puncak Fuji diakui sah sebagai milik kuil pada 1974.

Namun, tanah tersebut baru secara resmi dikembalikan pada 2004. Meski telah mendapatkan hak atas puncak Gunung Fuji, Kuil Sengen Taisha belum bisa mendaftarkan diri sebagai pemilik lahan tersebut.

(Tifani)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya