Liputan6.com, Islamabad - Seorang pelaku bom bunuh diri menewaskan enam jamaah saat salat Jumat di sebuah sekolah seminari di Pakistan barat laut, yang dikenal sebagai tempat pelatihan bersejarah bagi Taliban Afghanistan, kata polisi dan juru bicara pemerintah.
"Kepala pesantren itu termasuk di antara mereka yang tewas," kata juru bicara pemerintah Provinsi Muhammad Ali Saif seperti dikutip dari BBC, Sabtu (1/3/2025).
Advertisement
Pria yang tewas, Maulana Hamid-ul-Haq, adalah putra mendiang Maulana Sami-ul-Haq, yang dianggap sebagai bapak Taliban.
Advertisement
Sejauh ini tidak ada kelompok yang langsung mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.
Penyerang, yang mengenakan rompi bunuh diri berisi bahan peledak, berjalan mendekati Haq saat ia meninggalkan masjid di lokasi seminari Darul Uloom Haqqania, kata saudaranya Maulana Abdul Haq kepada Reuters. “Maulana Hamid-ul-Haq… tewas di tempat dan sekitar dua lusin orang terluka dalam ledakan itu,” katanya.
Polisi daerah Najeebur Rahman mengatakan sebelumnya bahwa beberapa orang terluka.
Perdana Menteri Shehbaz Sharif mengutuk pengeboman tersebut, dan menyatakan kesedihan atas kematian Haq, dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kantornya.
Terselip di kota Pakistan yang berdebu di luar jalan raya utama menuju perbatasan Afghanistan, Universitas Darul Uloom Haqqania merupakan landasan peluncuran bagi gerakan Taliban pada tahun 1990-an. Universitas ini masih sering digambarkan sebagai inkubator bagi kaum Islam radikal.
Adapun Pakistan tengah memerangi pemberontakan ganda, satu dilancarkan oleh kelompok Islamis dan satu lagi oleh militan etnis yang ingin memisahkan diri atas apa yang mereka katakan sebagai pembagian sumber daya alam yang tidak adil oleh pemerintah.
Runtuhnya Pemerintahan dan Pelanggaran HAM
Sebagai informasi yang dikutip dari sejumlah sumber, pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban menyebabkan runtuhnya pemerintahan Afghanistan yang didukung AS, meninggalkan kekosongan kekuasaan dan ketidakstabilan politik. Kekhawatiran akan pelanggaran HAM juga meningkat, terutama terhadap perempuan dan kelompok minoritas, di bawah pemerintahan Taliban.
Laporan-laporan mengenai pembatasan hak-hak perempuan, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan penindasan kebebasan berekspresi semakin sering terdengar. Hal ini menimbulkan keprihatinan internasional dan tekanan pada Taliban untuk menghormati hak asasi manusia.
Komunitas internasional terus memantau situasi HAM di Afghanistan dan mendesak Taliban untuk melindungi warga sipil dan menghormati hak asasi manusia sesuai standar internasional. Pentingnya penegakan hukum dan perlindungan warga sipil menjadi kunci dalam membangun kembali stabilitas dan kepercayaan.
Taliban muncul pada pertengahan 1990-an di tengah kekacauan pasca penarikan pasukan Soviet dari Afghanistan. Sebagai kelompok politik dan agama ultrakonservatif, mereka menerapkan interpretasi ketat dari hukum Islam. Setelah menguasai sebagian besar Afghanistan pada tahun 1990-an, mereka digulingkan pada tahun 2001 oleh invasi pimpinan AS, namun kembali berkuasa pada tahun 2021.
Sejarah panjang konflik ini menunjukkan kompleksitas situasi di Afghanistan. Pemahaman yang menyeluruh tentang sejarah dan dinamika politik di Afghanistan penting untuk merumuskan strategi yang efektif dalam menangani dampak global dari serangan Taliban.
Situasi di Afghanistan tetap dinamis dan perkembangan selanjutnya dapat mengubah gambaran ini. Pemantauan yang berkelanjutan dan kerjasama internasional sangat penting untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh serangan Taliban dan memastikan stabilitas regional dan global.
Advertisement
