Ancaman Kebebasan Pers di Pakistan Meningkat, Muncul Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis

Penangkapan jurnalis baru-baru ini dan undang-undang pembatasan baru telah meningkatkan kekhawatiran atas terkikisnya kebebasan pers.

oleh Teddy Tri Setio Berty Diperbarui 06 Apr 2025, 09:50 WIB
Diterbitkan 04 Apr 2025, 09:17 WIB
Ilustrasi press, pers, jurnalis, wartawan
Ilustrasi press, pers, jurnalis, wartawan. (Image by Freepik)... Selengkapnya

Liputan6.com, Islamabad - Lanskap jurnalistik Pakistan tengah menghadapi krisis yang mengkhawatirkan, karena pemerintah dan otoritas militer dilaporkan mengintensifkan upaya untuk menekan pelaporan independen.

Penangkapan jurnalis baru-baru ini dan undang-undang pembatasan baru telah meningkatkan kekhawatiran atas terkikisnya kebebasan pers, yang menimbulkan pertanyaan tentang masa depan kebebasan berekspresi di negara tersebut.

Contoh terbaru dari tindakan keras ini terjadi pada 25 Maret 2025, ketika Muhammad Waheed Murad, seorang reporter Urdu News milik Arab Saudi, dibawa paksa dari rumahnya di Islamabad.

Keluarganya melaporkan bahwa sekelompok orang bertopeng, yang diduga pejabat intelijen, menyerbu kediamannya pada dini hari, membawanya pergi tanpa surat perintah, dikutip dari laman afghandiaspora, Jumat (2/4/2025).

Beberapa jam kemudian, pihak berwenang mendakwanya dengan "terorisme siber" dan menyebarkan "informasi palsu dan bohong". Murad masih dalam tahanan, dengan kekhawatiran yang meningkat atas keselamatan dan hak hukumnya.

Insiden ini bukan insiden yang terisolasi. Beberapa hari sebelumnya, jurnalis yang berdomisili di Karachi dan pendiri platform berita digital Raftar, Farhan Mallick, ditangkap oleh Badan Investigasi Federal (FIA) atas tuduhan menyebarkan berita palsu dan mempromosikan narasi anti-negara.

Kasus Mallick menuai kecaman keras dari organisasi jurnalis internasional, termasuk Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) dan Persatuan Jurnalis Federal Pakistan (PFUJ), yang menuntut pembebasannya segera. Ketika pengadilan tidak memperpanjang penahanan Farhan Mallick, FIA kembali menangkapnya dalam kasus kejahatan dunia maya dengan menjalankan pusat penipuan dan mendapatkan kembali hak asuhnya.

Tanpa bukti keterlibatannya, Tn. Mallick ditangkap hanya berdasarkan pernyataan yang diberikan oleh dua orang yang terlibat dalam penipuan ini.

Inti dari penangkapan ini adalah Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Elektronik (Amandemen) 2025 (PECA), sebuah undang-undang yang telah banyak dikritik karena pembatasannya yang luas terhadap konten digital.

Pemberlakuan Hukuman Berat

Ilustrasi PERS, media, jurnalis
Ilustrasi PERS, media, jurnalis. (Photo by engin akyurt on Unsplash)... Selengkapnya

Undang-undang tersebut mengkriminalisasi penyebaran "informasi palsu", dengan memberikan hukuman berat, termasuk penjara dan denda yang besar. Para kritikus berpendapat bahwa bahasanya yang tidak jelas memungkinkan pihak berwenang untuk menyalahgunakannya sebagai senjata terhadap jurnalis dan suara-suara yang tidak setuju.

Berdasarkan Undang-Undang PECA, jurnalis yang meliput isu-isu sensitif -- terutama yang melibatkan urusan pemerintah atau militer -- menghadapi risiko yang semakin meningkat. Definisi hukum yang luas berarti bahwa hampir semua pelaporan kritis dapat diklasifikasikan sebagai berita palsu, terorisme dunia maya, atau serangan terhadap lembaga negara.

Pers Pakistan telah lama berjuang melawan campur tangan dari lembaga negara yang kuat. Militer, yang dikenal karena pengaruhnya yang kuat terhadap urusan nasional, telah berulang kali dituduh mengatur upaya untuk mengendalikan media. Penangkapan Murad dan Mallick baru-baru ini sesuai dengan pola yang sudah mapan untuk membungkam suara-suara yang menantang narasi resmi.

Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan (HRCP) telah mengutuk keras insiden-insiden ini, menyebutnya sebagai serangan langsung terhadap kebebasan pers. Serikat Jurnalis Federal Pakistan juga telah menyatakan keprihatinan yang mendalam, memperingatkan bahwa tindakan-tindakan ini mengancam fondasi demokrasi.

Meskipun ada tekanan internasional, pemerintah terus membenarkan tindakannya dengan mengutip masalah keamanan nasional dan ketertiban umum.

Reputasi Pakistan sebagai negara yang berbahaya bagi jurnalis sudah terdokumentasikan dengan baik. Reporters Without Borders menempatkan Pakistan pada peringkat 152 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia, yang menyoroti bahaya yang dihadapi jurnalis, mulai dari penganiayaan hukum hingga kekerasan langsung.

Sementara itu, Committee to Protect Journalists menempatkan Pakistan pada peringkat ke-12 dalam Indeks Impunitas Global, yang mencerminkan tingginya frekuensi pembunuhan jurnalis yang tidak dihukum.

 

Muncul Kekhawatiran

Ilustrasi jurnalis.
Ilustrasi jurnalis. Foto Unsplash... Selengkapnya

Meningkatnya penggunaan kerangka hukum untuk membungkam jurnalis menimbulkan kekhawatiran serius tentang integritas demokrasi negara tersebut. Undang-Undang PECA dan tindakan pembatasan lainnya menunjukkan bahwa lingkungan media Pakistan bergerak menuju kontrol negara yang lebih besar, dengan lebih sedikit jalan bagi pelaporan independen.

Tindakan keras ini telah memaksa banyak jurnalis melakukan penyensoran diri, pengasingan, atau bungkam—takut akan hukuman karena hanya melakukan pekerjaan mereka.

Komunitas internasional, organisasi kebebasan pers, dan masyarakat sipil harus terus mengadvokasi perlindungan jurnalis di Pakistan. Tanpa pers yang bebas, transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi itu sendiri tetap terancam.

Jika tren saat ini terus berlanjut, Pakistan mungkin akan segera menjadi salah satu negara yang paling represif terhadap jurnalisme independen, sebuah kenyataan yang mengancam tidak hanya jurnalis tetapi juga hak-hak dasar semua warga negaranya.

Infografis Donald Trump Vs Jurnalis CNN dan Emmanuel Macron
Infografis Donald Trump Vs Jurnalis CNN dan Emmanuel Macron (Liputan6.com/Triyasni)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya