Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2013, pasien gangguan jiwa kategori berat dengan prevalensi 46 per 10.000 orang, 14 persen di antaranya atau sekitar 57.000 orang dipasung. Pemasungan tentu membuat pasien gangguan jiwa tak mendapatkan haknya untuk memeroleh pengobatan demi mencapai kehidupan yang lebih baik.
Tak hanya pemasungan, pelarangan mengonsumsi obat, pelarangan menemui psikiater juga menghalangi penyembuhan pasien gangguan jiwa. Sayangnya, Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur hukuman kepada mereka yang memberikan hambatan terhadap pemberian pelayanan kesehatan maupun kesehatan jiwa.
Baca Juga
"Saya sudah ubek-ubek tiga undang-undang (UU Rumah Sakit, UU Kesehatan 36 tahun 2009, UU Kesehatan Jiwa tahun 2014 ) tidak ada yang mengatur tentang hal itu," tandas dokter Nova Riyanti Yusuf, SpKJ dalam Diskusi Bulanan PB IDI "Penanganan Kegawatdaruratan Gangguan Jiwa" di Jakarta (13/8/2014).
Advertisement
"Jika ada penghalangan padahal sudah jelas-jelas ada diagnosis, seharusnya kita harus hukum balik orang itu. Ini namanya main-main dengan nyawa manusia," tegas dokter yang kerap dipanggil dengan sebutan Noriyu ini.
Sebenarnya pengobatan pada pasien gangguan jiwa dimaksudkan untuk memulihkan dan menyembuhkan. Menurut DR. dr. Nurmiati Amir, SpKJ (K) pemberian obat, misalnya pada pasien bipolar berfungsi untuk mencegah episode manik atau depresi datang. Obat yang diberikan berfungsi mengontrol mood pasien bipolar.
"Tak ada salahnya minum obat terus menerus. Pasien diabetes pun melakukan hal tersebut. Yang terpenting pasien bisa menjalani hidup lebih baik. Toh nanti akan ada masa dimana dosis obat yang diberikan lebih rendah," jelas dokter Nurmiati.
Untungnya, pelarangan mendapatkan pengobatan pada pasien kesehatan maupun gangguan jiwa ini akan dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah Kementerian Kesehatan RI mendatang.