Liputan6.com, Jakarta Kehadiran Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 2014 yang salah satu babnya melegalkan aborsi menjadi kontroversi di berbagai pemberitaaan, insan medis maupun masyarakat.
Meluruskan apa yang sebenarnya terjadi, Menteri Kesehatan RI, Nafsiah Mboi menegaskan bahwa kehadiran PP ini tetap melarang aborsi di Indonesia, namun pada kondisi tertentu ada pengecualian terhadap larangan aborsi.
Baca Juga
"Peraturan Pemerintah ini dibuat karena negara menghormati hak asasi wanita,"jelas Nafsiah Mboi di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta (19/8/2014).
Advertisement
PP yang ditandatangani Presiden RI 21 Juli 2014 ini di dalam pasal 31 dijelaskan bahwa aborsi hanya bisa dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan. Untuk kedaruratan medis Mboi menyontohkan keadaan dimana si janin menderita penyakit genetik, janin menjadi racun bagi ibu.
Untuk dapat melakukan aborsi akibat indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh tim kelayakan aborsi yang paling sedikit terdiridari dua tenaga kesehatanan yang kompeten.
Sedangkan untuk bisa melakukan aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan harus dibuktikan dengan:
a. Surat keterangan dokter yang menyatakan usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan,
b. keterangan penyidik, psikolog, dan atau ahli lain.
Lebih lanjut, Mboi pun menjelaskan bahwa tindakan aborsi tentu bukan hal dianggap enteng, kondisi psikis pasien pun harus diperhatikan. "Wanita yang melakukan aborsi membutuhkan pendampingan yang luar biasa di dalamnya, sehingga di dalam PP ini dijelaskan adanya konseling sebelum dan sesudah tindakan," jelas Mboi.