Hari Penyandang Cacat Sedunia, Waspada Sindrom Lelah kronis

Kewaspadaan terhadap Sindrom kelelahan kronis (chronic fatigue syndrome) atau myalgic encephalomyelitis (ME) diserukan

oleh Fitri Syarifah diperbarui 03 Des 2014, 10:21 WIB
Diterbitkan 03 Des 2014, 10:21 WIB
Hari Penyandang Cacat Sedunia, Waspada Sindrom Lelah kronis
Kewaspadaan terhadap Sindrom kelelahan kronis (chronic fatigue syndrome) atau myalgic encephalomyelitis (ME) diserukan

Liputan6.com, Jakarta Memperingati hari penyandang cacat sedunia yang berlangsung setiap 3 Desember, kewaspadaan terhadap Sindrom kelelahan kronis (chronic fatigue syndrome) atau Myalgic Encephalomyelitis (ME) yang menyerang jutaan penduduk dunia diserukan.

Di Indonesia sendiri belum ada data pasti berapa pasien ME namun Kementerian Sosial menyebutkan, penyandang cacat di Indonesia masih banyak yakni mencapai 2,8 juta dari jumlah penduduk di Indonesia.

Diberitakan Ibitimes, Rabu (3/12/2014) kewaspadaan ini muncul lantaran sejauh ini belum ada pengobatan untuk sindrom kelelahan kronis. Padahal dampaknya sangat besar. Seseorang dengan ME akan mengalami kehidupan yang berubah drastis termasuk dalam menggapai pendidikan, keuangan, psikologis dan sosial.

Masalahnya, meskipun sindrom kelelahan kronis ini telah diakui sebagai penyakit namun menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan persatuan Psikiatri dalam the Royal Colleges of Physicians, Psychiatrists and General Practitioners, diagnosis ME  masih menimbulkan masalah.

Gejala ME muncul dengan tanda-tanda kelelahan parah setelah aktivitas mental atau fisik antara 24 dan 48 jam sesudahnya. Selain itu, muncul juga gejala umum seperti flu, nyeri otot, disfungsi kognitif, gangguan tidur, iritasi usus dan masalah dengan sistem saraf. Pada kasus tertentu, pasien juga pingsan, depresi hingga mengalami kecemasan akibat gejala persisten.

Tony Britton, dari Asosiasi ME mengatakan ME melemahkan kondisi seseorang. Mereka bahkan ada yang terganggu oleh cahaya terang, suara keras dan dalam beberapa kasus, terpaksa diberi makan dengan tabung khusus karena otot-otot mulutnya tidak bisa menelan.

"Perkembangan penyakit ME tergolong cepat, dan ada bukti bahwa hal itu disebabkan oleh rentetan serangan neurologis, imunologi dan endokrinologis pada tubuh," kata Britton.

Britton pun mengingatkan bahwa tidak ada pengobatan untuk ME, tapi pemahaman penyakit ini semakin baik. Bulan Oktober lalu misalnya, para ilmuwan Stanford University menemukan perbedaan yang jelas di otak orang-orang dengan ME, dibandingkan dengan mereka yang sehat. Diterbitkan dalam jurnal Radiologi, pasien ME kekurangan traktus saraf yang membawa informasi sekitar otak.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya