Bidan Perlu `Dukun` Atasi Kematian Ibu dan Anak

Menurut peneliti, para tenaga kesehatan seperti bidan perlu memperhatikan aspek budaya masyarakat di daerah.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 30 Des 2014, 17:00 WIB
Diterbitkan 30 Des 2014, 17:00 WIB
Bidan Perlu 'Dukun' Atasi Kematian Ibu dan Anak
Petugas Kesehatan memeriksa ibu hamil. Foto: jhpiego.org

Liputan6.com, Jakarta Sebuah penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian kesehatan (Balitbangkes) dalam riset Etnografi Kesehatan belum lama ini mengungkapkan hal menarik. Menurut peneliti, para tenaga kesehatan seperti bidan dinilai perlu memperhatikan aspek budaya masyarakat di daerah.

Seperti disampaikan Profesor Riset dari Balitbangkes Lestari Handayani bahwa budaya kesehatan pada setiap etnis di Indonesia ini harus dikaji secara ilmiah. Sayangnya, selama ini kita hanya membiarkannya saja tanpa mencari tahu maksud dan tujuan dari kebudayaan tersebut.

"Ada baiknya mungkin bidan atau kader kesehatan juga dibantu 'dukun' di daerah tersebut. Karena pada umumnya, tenaga kesehatan sulit diakses dan dukun lebih diterima disana," kata Lestari saat dijumpai wartawan di Kantor Kementerian Kesehatan, ditulis Selasa (30/12/2014).

Lestari menyontohkan, dalam etnis jawa di Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon, terdapat tradisi oyog bagi ibu hamil. Tradisi oyog adalah tradisi menggoyang-goyangkan perut ibu hamil sejak usia kehamilan bulan ketiga sampai bulan kesembilan yang dilakukan dukun bayi.

Menurut persepsi masyarakat, tradisi ini bermanfaat untuk mengurangi berbagai keluhan pada kehamilan, memberikan keyakinan bahwa persalinan akan lancar dan memberikan kenyamanan dan rasa tenang.

"Tradisi oyog memberikan dampak yang positif bagi kondisi psikologis ibu. Sehingga kedepannya perlu ada modifikasi pijat oyog oleh bidan dengan mengutamakan komunikasi interpersonal antara bidan dan ibu hamil," ujarnya.

Selain itu, menurut Lestari masih banyak tradisi lain yang diteliti oleh Balitbangkes karena mencakup 32 etnis dari 1.068 etnis yang ada di Indonesia. Seperti misalnya tradisi dalam etnis Kaila Da'a di Desa Wulai, Kecamatan Bambalamotu, Kabupaten Mamuju Utara yang memiliki kebiasaan melakukan pesalinan di rumah dengan bantuan keluarga atau topo tawui (dukun yang melakukan pengobatan semua macam penyakit).

Ada pula Etnis Laut, Desa Tanjung Pasir, Kab. Indragiri Hilir yang masih memiliki kepercayaan kalau setiap ada penyakit pasti disebabkan oleh keteguran, kelintasan dan tekene (makhluk gaib). Kemudia ada etnis Dayak Ngaju, Desa Muroi Raya, Kec. Mantangai Kab. Kapuas yang memiliki dewa bernama Sagiang. Dewa ini dipercaya sebagai penolong masyarakat yang terkena sakit atau masalah lain. Masyarakat sangat tergantung pada dewa ini lantaran aksesnya ke dokter dan perawat sangat jauh.

Satu lagi yang pasti membuat Anda tertegun. Dalam etnis Asmat di Kampung Mamugu, Distrik Sawa Erma, kabupaten Asmat terdapat banyak sekali penderita kusta. Kusta bagi masyarakat setempat hanya dianggap penyakit kulit biasa sehingga tidak ada upaya pencegahan dan pengobatan. Tak heran bila di sana, penderita kusta berbaur dengan masyarakat lain dan tidak ada pengucilan. Namun, hal ini bisa menjadi sumber penularan kusta dalam masyarakt yang akan diperparah dengan kondisi sanitasi yang kurang baik.

Melalui riset ini, Lestari berharap kalau budaya kesehatan ini dapat dijadikan stimulasi inovasi dan kebijakan kesehatan berbasis budaya, serta mencegah gagalnya pemahaman terhadap subyek pembangunan kesehatan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya