Meski Stres Mendera Jurnalis, Desy Tak sampai Depresi

Profesi jurnalis yang sering didera stres, tidak sampai membuat Desy depresi.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 04 Des 2019, 11:00 WIB
Diterbitkan 04 Des 2019, 11:00 WIB
stres
Meski stres sebagai jurnalis, Desy tidak sampai depresi. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Sehari-hari berprofesi sebagai jurnalis di Jakarta, Desy (34) tak luput dilanda stres. Walaupun begitu, ia tidak sampai terserang depresi.

"Stres itu pas lagi dikejar deadline. Apalagi aku kan sudah berkeluarga. Punya anak juga. Kepikiran anak juga kalau lagi mau ngetik," tutur Desy kepada Health Liputan6.com saat ditemui di restoran di bilangan Cikini, Jakarta, Senin (2/12/2019).

"Istilahnya ya aku kan udah emak-emak. Yang namanya emak-emak itu lagi ngetik berita tetap aja bawaannya pengen pulang."

Oleh karena itu, Desy punya trik terhindar dari stres setiap kali deadline. Ia harus punya waktu khusus untuk mengetik berita. Suasana yang agak lowong dan tidak terganggu dengan aktivitas lain.

Simak Video Menarik Berikut Ini:

Merasa Cemas

Ilustrasi
Kecemasan juga melanda jurnalis.

Psikolog Sustriana Saragih menyampaikan, hasil asesmen yang dilakukannya terhadap jurnalis televisi, daring, dan radio yang hadir.

Masalah kesehatan mental jurnalis sering muncul, yaitu stres, kecemasan dan depresi.

"Sesuai dengan hasil asesmen yang kami lakukan, kesehatan mental paling besar stres, kecemasan dan depresi. Tapi kalau kita lihat secara global, jurnalis lainnya juga mengalami gangguan yang sama," tutur Sustriana melalui keterangan tertulis.

Desy mengakui, dirinya cemas bila tidak ada bahan liputan dan teman saat hadir pada suatu acara.

"Kalau belum dapat narasumber juga susah. Apalagi kalau kita enggak boleh ganti narsum. Ditambah deadline yang tinggal hitungan hari. Aduh itu, udah enggak karu-karuan dah," lanjut ibu dua anak ini.

Konsultasi ke Psikolog

Ilustrasi Psikolog - Psikologi (iStockphoto)
Jurnalis bisa konsultasi ke psikolog bila didera stres, cemas, dan depresi. (iStockphoto)

Sustriana menyarankan, jurnalis yang mengalami stres, kecemasan dan depresi, serta mulai merasa terganggu produktifitas di tempat kerjanya untuk menemui psikolog.

Beberapa gejala tersebut misalnya, sulit konsentrasi, memenuhi tenggat waktu, dan sering marah-marah.

"Sulit obyektif menilai suatu berita, sulit berempati terhadap berita yang diliput. Dan sering marah-marah, mengabaikan hak anak istri. Ini terjadi saat individu jurnalis merasa dirinya tidak produktif lagi," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya